Selasa, 11 Desember 2007

selamat pagi tuan tentakel

menarilah dengan sedikit tchaikovsky
dan di tanganmu gelas kecil kosong berbau wiski
begitu bangun pagi kau mematut diri
di depan cermin sambil berkata, "oh, andai beberapa
helai rambut memenuhi kepalaku yang persegi."

selamat tinggal klarinet dan apa kabar krabby patty
socrates pendongkol ini akan duduk di belakang
mesin kasir kembali untuk memanggil, "pesanan satu lagi!"

ah, bosmu yang malang. masih saja dia berpikir
lukisan kerang pada lembaran lima dolar
adalah karya seni paling tinggi abad ini.
dan anak kecil berwarna kuning di dapur yang
masih percaya kalau kehidupan dapat disusun
dari lapisan imajinasi.

selamat pagi tuan tentakel, selamat pagi
masuklah kerja hari ini
sepanjang tahun tanpa cuti

Senin, 10 Desember 2007

janji bertemu jimmy neutron di retroville

hal pertama yang akan kukatakan sesampainya kau di sini adalah: bukankah warna kuning yang menyepuh langit kota ini hampir tak begitu berbeda dengan warna tembaga? itu, unsur bernomor 29, berlambang Cu dan berbobot 63,546 gram dalam tabel sistem periodik. kita takkan membahasnya nanti karena aku tak suka kimia. hanya saja, agar tak terlihat tolol di depanmu, sepanjang perjalanan menuju kota ini aku membaca sedikit informasi sains dari sebuah jurnal ilmiah. wah, aku baru tahu kalau tembaga mempengaruhi kerja sistem pernapasan manusia--eh, tirosinase dan silokron oksidasi itu apa, sih? oke, kita membahas tentang itu sedikit nanti.

sebagai tempat pertemuan kita, aku memilih taman dekat sekolah. hari ini aku tak ingin makan di candy bar. aku malas mendengar ocehan sam, atau melihat seragam kerjanya yang bergaya yankee. lagi pula, aku ingin menggosipkan lajang tua itu. betah juga dia, padahal setahuku ibu fowl sudah minta dilamar. eh, tebak-tebakan, yuk! berapa jumlah garis di kaus mcspangky?

baiklah, sudah pukul 17.35, seorang ilmuwan takkan mempermainkan janji, walau banyak yang senang mempermainkan waktu. omong-omong; kau, aku dan einstein ternyata lahir pada tanggal dan bulan yang sama. menurutmu dia bohong tidak soal waktu? yeah, waktu itu paralel, bukan liniear katanya, tak mustahil kita bisa melompat dari dimensi waktu satu ke dimensi waktu lain. atau aku yang salah membaca? andai bisa, sungguh menyenangkan mengubah masa lalu. melawat ke suatu bagian waktu untuk membatalkan sebuah keputusan yang paling kusesali. aku takkan bertemu dia dan jatuh cinta padanya. tanpa repot aku dapat menghapus kenangan-kenangan buruk, membiarkannya kosong atau menggantinya dengan yang indah-indah. terserah aku.

walau tak pernah berkata, "je pense donc je suis" kau tetap mengingatkanku pada descartes. ya, filsuf itu. suka filsafat? kalian mirip, "think, think, think" rasio adalah segalanya. hmm, menguasai sains menjadikan kita tak ubahnya tuhan yang angkuh. tahu episode favoritku? saat kau ubah retroville dari sebuah kota kecil menjadi pemukiman cro-magnon persis di zaman beku. jalanan dilapisi es setebal sepuluh meter waktu itu. dan oleh warga kau dikejar-kejar sebagai binatang buruan. masih ingin menjadi tuhan?

aku masih mengagumi warna langit kotamu. karya seorang seniman animasi hebat pasti. cuma aku tak suka dengan caranya menggambar kepalamu, gigi sheen dan bintik-bintik merah di wajah karl. namun terus terang, semoga kau tak kecewa, aku mengagumi caranya menggambar cindy vortex. walau sinis, vortex manis, akuilah! kau pernah memasukkannya dalam mimpimu, sekali; menciumnya, sekali. menyukainya sesekali; membuatnya jengkel, berkali-kali. kata orang, batas antara benci dan cinta tipis sekali. sungguh, aku tak dapat seperti itu. mencintai di suatu saat, lalu membenci di saat lain. ah, anak-anak, mungkin seperti itu pikiran anak-anak. aku ingin jadi anak-anak kembali, masih ingat cara meracik ramuannya?

jim-jam, hehehe sesekali aku pun ingin menjadi seperti ayahmu, lelaki sederhana yang menyukai bebek dan mencintai istrinya, sangat sederhana walau tak sejenius anaknya. semoga dia tahu kau akan menghabiskan sore denganku, bukan sekadar mengajak jalan-jalan goodart atau mejaili cindy dan libby. ah, jangan-jangan kau lupa janji pertemuan kita. mengapa? apa sheen dan karl mengobrak-abrik laboratoriummu lagi? semoga tak ada ultra lord yang memimpin sekawanan llama. semoga tidak.

makassar, desember 07

Kamis, 29 November 2007

di sebuah kafe dekat pelabuhan

di kafe dekat pelabuhan itu
aku duduk sejak pukul tiga
lewat empat lima sore
dan memesan apa saja
untuk bisa melupakanmu
tapi cuma kopi susu
dan roti bakar rasa keju
yang kutemukan di daftar menu
apa tak ada yang lain?

seorang pelayan berkaos abu-abu
menjawab: sebenarnya, dulu
kafe ini pernah menyediakan
hidangan laut bumbu kesedihan
lengkap dengan jus rasa kekosongan
tapi hanya sedikit yang beli
dan kami terus merugi

maka kupesan saja
segelas kopi tanpa susu
dan sekeping roti tanpa keju
biar sesekali hidup kunikmati seperti ini:
pahit dan tawar

di kafe dekat pelabuhan itu
aku duduk berhadap-hadapan
dengan bangku kosong
satu-satunya yang dapat kuajak bicara
selain pelayan dan sunyi, tentu saja.

aku dapat mendengar laut bergetar
dilalui kapal-kapal
ada yang datang, ada yang hilang
ada pertemuan dan ada yang betah
bicara dengan sunyi

mengapa begitu sulit?
mencintaimu berkali-kali
untuk melupakan mestinya cukup sekali

di kafe dekat pelabuhan itu
aku duduk, meremas gelas, lalu sadar
telah menghabiskan bergelas-gelas kopi
dan berpiring-piring roti tanpa isi
ketika pelayan itu mengingatkan
dini hari sebentar lagi
kafe akan tutup dan aku harus pergi

kukatakan padanya:
tak bisakah, untuk malam ini
kau membiarkanku menikmati
rasa sakit, sendiri?

pelayan itu tersenyum
sanyum yang terlampau sabar
untuk seorang pelanggan cengeng seperti aku
kau tahu, ujarnya setelah jeda beberapa saat
aku pikir kaulah yang sedang mendera dirimu sendiri
maka pulanglah, tidur dan tolong jangan bermimpi

aku turuti sarannya
membayar semua makanan dan minuman
dan bersiap pulang untuk rebah
di ranjang yang mungkin telah jengah
dengan bau tubuh, airmata dan keluhan
yang itu-itu saja

pelayan berkaos abu-abu itu
menyodorkan sesuatu terbungkus
kantong plastik hitam padaku
ini roti rasa keju, gratis, bisiknya
sesekali nikmatilah hidup seperti ini:
manis, asin dan asing.

makassar, november 07

Jumat, 23 November 2007

entah berapa kali malam kuhabiskan seperti ini

entah berapa kali malam kuhabiskan seperti ini
menghitung bulir embun yang terbentuk di pucuk-pucuk
tiap daun, tiap dahan pekarangan kusam berwarna lukisan

lalu kucari diriku sendiri dalam sunyi paling puisi
tempat, yang entah bagaimana, selalu kutemukan namamu,
matamu dan lubang selebar bulan yang pernah kautinggalkan di jantungku

aku suka akan cara malam mengajariku mencintai
sama halnya puisi mengajariku cara melupakan
cinta adalah hitam yang malam, bukan putih,
bukan ungu, bukan merah jambu

entah berapa kali malam kuhabiskan seperti ini
pada jalan beraspal, bukan berbatu
lampu-lampu di pucuk tiang padam satu-satu
aku berjalan sambil mengucap namamu
lalu mencintaimu, lalu berhenti
untuk kemudian melupakanmu

makassar, november 07

sihir tardji dan korek api




paman tardji, paman tardji
aku letih, aku letih

korek api, korek api
aku serpih, aku serpih

makassar, november 07

Kamis, 22 November 2007

Bermain-main lagi

Tak ada sajak beberapa hari terakhir ini. Sama-sama buntu. Aku dan Aan, seperti biasa, sepakat bermain. Berikut hasil main-mainku. Hasil main-main Aan bisa dibaca di sini.

Kata-kata berikut harus kami buat jadi sebuah sajak:

- baju kotor,
- mobil ambulans,
- karpet hijau,
- kaleng kosong,
- abu rokok,
- jam pasir.

lelaki muda dan benda-benda di kamarnya

inilah sebabnya aku pilih mempercayaimu,
bisik lelaki muda itu pada jam pasir di sudut kamar
angka-angka tak pernah jadi istri yang setia
yang senantiasa meminta suaminya tidur lebih awal saat malam
agar dapat membisikkan kalimat 'sarapanmu sudah siap, sayang'
pada esok paginya seusai bercinta.

inilah sebabnya aku tabah mendengarmu
ucap lelaki muda itu pada kaleng kosong tempat menadah
rembesan hujan dari atap yang bocor
detak detik seperti mimpi buruk berisi oceh anak-anak
yang banyak menuntut
minta ini dan itu tanpa pernah bertanya, berapa banyak
puisi bapak yang berhasil disulap jadi uang hari ini.

inilah sebabnya aku betah mendengusmu,
ujar lelaki muda itu pada lusuh lesu baju kotor
yang bergelantungan pada pepaku di daun pintu
abu sisa obat nyamuk memaksaku bergegas
menutup mimpi yang belum tamat
mimpi mencium gadis paling manis
yang ingin kujadikan istri meskipun matanya
rabun dan penyakitan.

inilah sebabnya aku tahan merebahkan tubuhku pada tubuhmu,
gumam lelaki muda itu pada abu rokok menyalju di karpet hijau
karena suatu saat aku pasti pergi tanpa jemputan,
atau nyanyian, atau sirene mobil ambulan
tanpa koran-koran memberitakan tragedi seorang penyair
yang mati bujangan.


Tak puas. kami lanjutkan permainan. Tantangannya harus lebih.

Kata-kata berikut harus kami buat jadi sebuah sajak:

- majalah bekas,
- kamar pas,
- bulu ketiak,
- hari jumat,
- pemantik api,
- ibu hamil,
- gantungan kunci,
- kaki kuda.

majalah bekas

sengaja kau beli majalah bekas itu
sekadar untuk tahu ada peristiwa apa
dua tahun lalu, di hari pernikahanmu

halaman 3-7:
sebuah wawancara dengan lima artis perempuan
korban pencabulan di kamar pas
sebuah studio pemotretan

halaman 8-9:
berita seorang ibu hamil tewas gantung diri
setelah harga susu berlipat tiga kali
masih di halaman yang sama
catatan kecil empat kolom
tentang seorang lelaki yang menangis
entah tangis sedih untuk istrinya yang mati
atau untuk sebuah kesempatan kawin lagi

halaman-halaman selanjutnya:
nyaris tak ada yang menarik
kecuali iklan gantungan kunci
yang juga berfungsi sebagai pemantik api
aneka bentuk; kaki kuda, bunga dahlia
atau kepala mantan presiden yang tetap tersenyum
setelah beberapa kali bebas pengadilan korupsi
(siapa mau beli?)

ah, masih ada satu lagi
halaman terakhir:
renungan hari jumat
tentang pentingnya membersihkan diri
menggunting kuku, mencukur kumis
dan bulu ketiak yang benar
seperti anjuran nabi

ternyata, simpulmu, selain pernikahanku
tak ada peristiwa penting terjadi hari itu.

makassar, november 07

ah, setelah membaca sajakmu, aku akui aku kalah, An!

Rabu, 21 November 2007

Ruang Istirah dalam Sajak Inez Dikara

Kita banyak menemukan penyair yang lihai bersajak pendek, namun sering kali terjungkal dalam guratan sajak-sajak panjang. Sebaliknya pun begitu.

Menulis sebuah sajak pendek lebih mudah ketimbang membuat yang panjang, inilah kesalahan yang telah lama kaprah dalam benak masyarakat awam. Sajak pendek bagaimanapun memiliki sisi-sisi yang tak dapat diabaikan. Menuliskannya tak berarti lepas dari bahaya. Salah-salah, penyair dapat terjebak dalam kedangkalan berbahasa. Secara gamblang saya berpendapat, kekuatan sajak panjang ada pada narasi, sedang kekuatan sajak pendek terletak dalam susunan kontemplasi. Sekali lagi, kalimat yang baru saja saya sampaikan tadi adalah sebuah pendapat yang belum layak dijadikan patokan.

Dalam ranah persajakan kontemporer indonesia, cukup ramai nama-nama penyair yang dikenal terampil menggunakan majas dan matra dalam berbagai metode, guna mencipta sajak-sajak pendek yang gurih. Beberapa, seperti Joko Pinurbo, gemar menggunakan ironi-ironi segar. Sementara Ook Nugroho atau Raudhal Tanjung Banua misalnya, aktif mencipta kesan-kesan metafisik. Di lini terakhir, segelintir penyair lainnya masih belum bosan mengolah tema-tema lama. Lanskap.

Inez dikara adalah salah satu dari segelintir itu. Sajak-sajaknya kebanyakan berawal atas kekaguman terhadap situasi alam sekitar. Saya memang belum sempat mewawancarainya secara langsung, tapi kesan itu acap saya tangkap lewat beberapa sajaknya.

Misalnya satu sajak di bawah ini:

sebuah galeri di sudut kota
gending jawa dan
kursi-kursi menyendiri
di halaman
meredup lampu-lampu dalam kurungan

malam begitu dahaga
ia coba teguk segala ingatan

(Sogan Village, Inez Dikara)


Rasakan usaha sang penyair memindahkan suasana malam yang visual dalam sepotong sajak yang literal. Penyair benar-benar bicara soal galeri di sudut kota, bukan yang lain. Tentang sesuatu, bukan seseorang. Sebuah sajak pendek yang kembali pada fitrahnya; tidak antroposentris, melainkan kosmosentris.

sebuah galeri di sudut kota
gending jawa dan
kursi-kursi menyendiri
di halaman
meredup lampu-lampu dalam kurungan

Tak perlu bertanya, sajak ini tentang 'kota' mana. Sebab selanjutnya, 'gending jawa' telah memberitahukan pembaca tempatnya. 'Galeri' kemudian menyempitkan mata pembaca sebelum liar meraba-raba. Semakin sempit ketika Inez menyajikan 'kursi-kursi', 'halaman', berikut 'lampu-lampu' lengkap dengan 'kurungan'-nya.

Sekarang, pembaca tinggal memilih, benda mana yang ingin disentuh. Saya pribadi akan memilih kursi sebagai perlambang rasa nyaman, tempat perenungan, atau wahana istirah yang damai. Ingin memilih lampu-lampu yang redup pun tak mengapa, meski ia terlihat suram. Jelasnya, inez membebaskan pembaca. Inez menghadirkan segala yang pernah tampak di matanya.

Lantas, di mana letak kontemplasi sajak ini? Simak lanjutannya:

malam begitu dahaga
ia coba teguk segala ingatan

Anda telah duduk? Sudah merasa nyaman dengan kesunyian? Dengan keremangan? Sekarang waktunya bersulang bersama malam. Malam yang dahaga. Malam yang haus akan ingatan. Apapun warna ingatan itu. Silahkan duduk dan merenung-renung sendiri. Gali kembali sumur ingatan anda sedalam-dalamnya. Sekarang, bagilah kenangan dan ingatan itu dengan malam. Malam yang dahaga.

Alih-alih memunculkan sebuah kontemplasi penting dalam sajak, Inez malah mengajak pembaca berkontemplasi lebih dalam. Bukan sesuatu yang disodorkannya matang-matang, tapi sebuah jalan untuk mencapai titik puncak perenungan. Itulah salah satu fungsi sajak atau puisi. Sebuah sajak mestinya rendah hati. Tidak sok berilmu dan menggurui (atau membodohi) pembacanya. Dengan mengikuti gaya inez bercerita lewat sajak, kita terdorong untuk merenungkan sesuatu melalui jalur yang sudah dibangun. Semuanya, termasuk para pemalas yang apriori.

Tak perlu saya berkoar-koar banyak soal rapihnya struktur fisik sajak ini. Seakan sengaja, semua benda-benda kongkret diletakkan larik per larik pada bait pertama, /1/ galeri, /2/ gending jawa, /3/ kursi-kursi, /4/ halaman, /5/ lampu-lampu. Lantas menumpuk kesan malam yang bersinestesia dengan indera lidah (dahaga) pada bait kedua. Dengan bentuk seperti ini, pembaca benar-benar diberikan jeda untuk setelahnya merenung lagi lebih dalam.

Jelasnya, sajak-sajak inez bukan sebuah pergulatan yang melelahkan, melainkan peristirahatan yang menenangkan. Tak perlu berpikir rumit untuk mencerna sajak-sajaknya. Cukup merenunglah di suasana paling nyaman. Lebih dalam.

(selengkapnya tentang Inez Dikara)

Kamis, 15 November 2007

setelah batas

setelah batas adalah tiada
niscaya tak mungkin mencari sesiapa

pencarianmu adalah perjalanan tanpa henti sia-sia
bahkan perhentian, andaipun ada, tak boleh terlalu lama
karena terlalu lama dan teramat sebentar tak akan
tergurat dalam segala kamus kosakata, semua bahasa

dunia tanpa batas adalah perkara yang lucu
seperti seorang tua berpikiran uzur dan dungu
tapi apakah tua itu, umur tak terpermanai
dan kita tak bakal mati
mungkin masih akan ada makam tanpa jasad mendekam
tanpa apa-apa selain nisan yang terpacak
bertulis epitaf panjang tanpa tanggal kematian
tanggal, bulan, tahun dan berabad-abad
kau didera keabadian menjemukan

tak akan mungkin menghitung jumlah daun pada dahan,
dahan pada pohon, pohon pada hutan
dan berapa liter air disesap hutan dalam sehari
pula bagaimana sehari dalam dunia tanpa batas ini
apakah siang selamanya, ataukah malam tak terhingga
bukankah tanpa batas, dunia menjadi tak sempurna

dan kini, di penginapan ini
tak ada yang kau renungkan selain batas
seperti wajah yang mesti memiliki mata meskipun buta
sebujur laut mesti berbatas walaupun selesa
tiba-tiba kau menangis mengenang sepimu
yang seakan tak punya batas ini
sepi yang kautulis lewat surat-surat tersembunyi
yang perlahan buluk dan luntur
dalam seonggok kotak kayu mahoni

setelah batas adalah tiada
di sini, mustahil menemukannya


makassar, november 07

(sebuah interpretasi bebas dari novel the ocean sea, karya alessandro baricco)

tamu terakhir

baru saja dia tiba dan menurunkan muatan terakhir dari kereta, saat disangkanya sesosok peri bermata biji kenari sedang menunggunya di salah satu balkon dekat jendela. tapi tidak; gadis itu bukan peri, tidak pula menunggunya atau sedang menunggu sesiapa. gadis itu sedang membidik isyarat badai yang datang tersaruk dan bergetar. sambil menghitung kertap bintang yang melompat-lompat di tingkap.

dia lalu membayangkan gadis itu sebagai hantu masa lalu. tapi dia tak tahu masa lalu telah berkerumun di dada gadis itu sejak lama, lantas tersaput sekaligus pada satu waktu. dia tak tahu gadis itu telah menyesapkan banyak ingatan, banyak kenangan dari lelaki-lelaki yang pernah mencumbu dan mencoba melonggarkan jejalin temali korsetnya yang sutera. dia tak tahu gadis itu yang telah meredup-lindapkan lampu rumah dan lampu jalanan di banyak kota. termasuk kota asalnya sendiri, yang dibulai senja terlalu lama.

kali ini, dugaannya tepat. gadis itu sedang berharap bau laut dapat mengobati sakitnya yang larat. setidaknya gadis itu ingin mati tanpa merana. dikubur di tanah masir, antara lapisan karang tak jauh dari kumpulan plankton menyala dan mengambang. tapi sakit macam apa dia tak paham. gadis itu cuma mengingat satu malam ketika jiwanya memilih karam, karam dan tenggelam.

aroma badai makin pekat. tapi gadis itu masih bergeming wajahnya semburat. lelaki dari kota meraba-raba kantong mantelnya yang menyimpan banyak alamat serta secarik peta di mana penginapan ini tak tercatat, terlalu tabu untuk disebut dan diingat. tapi lelaki itu telah berjalan teramat jauh, mencari tempat seperti yang diceritakan kekasihnya lewat surat: "thomasku sayang, di sini, setiap ucapan adalah laut, dan setiap hari adalah kiamat."

makassar, november 07


(sebuah interpretasi bebas dari novel the ocean sea, karya alessandro baricco)

Rabu, 14 November 2007

lelaki itu terlahir dari buncah buih

sebuah pemandangan yang tak dapat kau lihat tiap hari
gelembung buih paling putih dibawa gelombang berlari
melompati karang, pecah pada sebatang pohon ketapang
menetas dari buih, bayi lelaki bermata sebulat ara yang biji

konon, bayi lelaki itu diberi makan oleh tuhan sendiri
lewat tetes demi tetes embun yang dihangatkan matahari
setelah dewasa, belajarlah dia pada ombak, pada api
pada hutan yang menjodohkannya dengan bidadari

soal pertemuannya dengan bidadari, itu kisah lain lagi
jelasnya, anak moyang lelaki buih itu adalah kami
ayah, ibu, aku dan segenap penghuni negeri ini

mungkin benar katamu, segala hal bakal kembali ke muasal
sebuah penjelasan paling masuk akal
soal suara ombak seperti panggilan berseru, "anakku...anakku!"

segala hal bakal kembali ke muasal
dari laut kembali ke laut
dari buih kembali ke buih
sedang kau, ke mana akan kembali?

makassar, november 07

tiga benteng mempercakapkan mimpi

--otanaha

orang-orang dalam mimpiku adalah para pemberang. yang barangkali hanya kenal kata pedang dan perang. "musuh datang! musuh datang!" dari tepi danau mereka menyeberang, siap menyerang bersampankan rakit-rakit sempit. dan dari sini kita akan memanahi sebelum mereka sempat berkelit.

darah terlalu banyak. membuatku tak mampu lagi membedakan bau induk maleo menguruk telur di timbunan debu, dengan bau asin peluh penombak ikan bermata sedingin batu. "musuh datang! musuh datang! tabuhlah genderang pertanda mulai perang."

di tubuhku, lancung-lancung tua sedang menangisi hari-hari yang hampir habis. dan aku dengar derak-derak hutan seperti kertak ketakutan.

--otahiya

sampai sejauh ini, aku masih merindukan kata-kata ajaib itu dari mulutmu. tapi setiap malam, kumimpikan wajah perempuan yang mengutukku jadi batu. nama kita diawali dengan untuk, bukan kutuk. tapi bukankah diciptakan dan dinamai untuk orang lain adalah sebuah kutukan juga?

lawanlah nasib dan kita akan kalah. setiap malam perempuan itu datang menyentuh keningku. menyapaku putri manja. seolah aku gadis remaja yang menghabiskan hari tanpa kerja. hanya tidur, tidur, tidur dan hanya. sesekali melantur tentang haid yang datang tak teratur.

--ulupahu

kuburlah sejarah sebab masa lalu bukan lagi sebuah perkara penting. setidaknya, saat melihat pantulan wajah kalian di wajah danau, bersepakatlah denganku:
umur adalah perihal gaib yang galib.

aku tak duga, putih telur maleo dapat mempertahankan umurku seuzur ini. padahal apalah itu, cuma getah untuk sayap dan paruh dari yang menjelang tubuh. di pipiku, bertebaran ladang gerangan. di keningku, kerak menggambar kenangan. tidak, tidak, aku tidak sedang ingin menjumpai masa lalu. hanya saja, pernahkah terpikir, kenangan itu seperti gadis manis berpipi merah, bergaun juntai diteduhi payung kertas abu-abu, menunggumu di taman yang dilimbur daun-daun kecoklatan, memanggilmu dengan desah-desah liris yang tak akan berhenti sampai simfoni kedelapan.

makassar, november 07

Kamis, 08 November 2007

buqi-buqingale

masih cukup jelas ingatanku pada sebuah tahun tak tercatat, di tepi telaga tak bernama, aku menemukanmu tergugu sembari mendekap sepasang payudara yang menyembul ragu-ragu. seketika birahiku menyala. senyala pendaran dari kulitmu yang kuning purnama.

kita saling bertukar tatapan ganjil sementara tubuhmu masih telanjang disesah udara dingin yang batil. aku coba menawarkan selimut yang kujalin dari dedaunan sulur, namun kau tampik seraya memintaku mundur, tak seinci pun mendekat. mengotorimu dengan jelagaku yang kodrat.

masih cukup jelas ingatanku pada sebuah malam tatkala kau menyisakan rasa panas Lewat ketakutanmu yang angkuh. dan kau mulai mendongeng tentang manusia-manusia yang bertemu makhluk langit, sama sepertiku menemukanmu. mereka membual tentang kudusnya pernikahan bumi dan rembulan

kau ceritakan padaku kebenaran langit; tak ada anak-anak berkejaran membuat jejak hingga jadilah bintang, tak ada perempuan menangis mencipta rinai sampai turunlah hujan, dan tak ada lelaki berbahu kekar memanggul cakra buat memutar hari.

maka kutinggalkan kau bersama sayapmu, tubuhmu yang terlalu suci buat lusuh dibasuh lumpur bumi yang dina. kutinggalkan sembari menyusun cerita buat anak keturunanku agar berbangga dengan raga yang mengalirkan darah dewa-dewa.

dan setelah bertahun-tahun, ingatanku masih juga teramat jelas. sejelas sinar pucat yang menggiringmu turun tiap purnama keduabelas. itulah ziarahmu ke tubuhku yang batu. mengecup bagian yang mungkin kau sangka bibir, mungkin keningku.


Makassar, 25 Agustus 2007

(sajak lama, aku posting kembali dengan sedikit perubahan agar lebih semangat membuat sajak tentang gorontalo lagi)

Rabu, 07 November 2007

pintu dan sebotol minyak obat

: citra dewi lasantu, ibuku

dari pintu itu,
kau selalu mengetuk sebelum masuk
selalu, setelah ayah menyebatku
dengan ikat pinggangnya yang berat
dan amarahnya yang berlarat-larat

di tanganmu sebotol minyak obat pekat
untuk kulitku yang lecet nyaris cacat

"tidurlah," ujarmu
"dalam tidur kau tak akan mungkin menangis"

ah, ibu
sampai kini pun aku jarang menangis
kecuali ketika ingat
kau pernah datang dari pintu itu untuk
membawakanku sebotol minyak obat pekat

makassar, november 07

hujan itu datang sambil menangis

:MAM

duduk di sini adalah sebuah pengalaman teramat puitis
bukan karena hujan itu datang sambil menangis
tetapi karena dua sebab berikut ini,

sebab pertama: malam yang kemarin seperti mata polantas
kebingungan melihat jalanan macet total
saat ini seperti jari-jemari perempuan cantik berwajah nakal

sebab kedua: dinding-dinding menyanyikan lagu-lagu jepang
nyanyian kanak-kanak yang riang
melodis, sesekali melodramatis

adapun hujan yang datang sambil menangis itu
datang mencarimu sehabis membuat kolam di halaman

"langsung saja," kataku
"naiklah ke lantai dua. sebelah kiri, di kamar paling kiri.
mungkin dia sedang menulis surat cinta terakhir
sekaligus puisi perpisahan untukmu."

"separah itukah?" tanyanya
aku jawab dengan sebuah barangkali

dan seperti kau tahu, dia tak ke lantai dua menemuimu
menyangka aku seorang penyimak cerita yang baik,
diceritakannya banyak hal tentangmu
cukup banyak sampai aku lupa seperti apa detilnya
kecuali kalimat tak puitis menggelikan seperti ini:
"dia cinta pertamaku, sekaligus terakhir."
(aduh, hujan kekasihmu ini masih remaja rupanya)

pengalaman ini sungguh puitis. lebih puitis tatkala
dia pamit pulang sesudah kuakhiri ceritanya dengan:
"baiklah, nanti akan kusampaikan padanya," sambil
menyesali waktuku yang terbuang percuma
(30 menit untuk mendengarkannya bercerita,
50 menit untuk mendengarnya menangis)
sudahlah, barangkali dia memang butuh itu

"kau tak mau menemuinya?"

"entahlah, lebih baik kutunggu saja puisinya besok pagi."

kau tahu, tanpa hujan yang datang sambil menangis
pengalaman duduk di sini bagiku mungkin akan sangat-sangat puitis
tak kusebut romantis karena pasti kau berkata tak suka
sambil tersenyum sinis dan meringis

makassar, november 07

Selasa, 06 November 2007

seseorang telah mengisi bangku itu

bangku taman itu
tempat mestinya aku duduk tiap sabtu
seseorang telah mengisinya lebih dulu
duduk, tepatnya meringkuk
menyapaku dengan nama yang salah
dan suara gemetar.

"dingin," desisnya
"tempat ini ditutup selama tiga hari
tapi itu tak mencegahku mendengarkan
cemplung hujan di kolam taman ini."

wajahnya terlalu keras, suaranya teramat getas
kuping tanpa tindik, lengan penuh bulu
membuatku ragu mesti memanggilnya
bapak ataukah ibu

dia terlalu banyak bertanya ternyata
"kuliah di mana, kerja di mana
maaf, maksudku kuliah ataukah kerja,
di mana, tinggal di mana, asal dari mana
wah, kita selorong rupanya."

semoga dia tak bertanya, aku homo, bukan
atau, berapa besar ukuran...

merepet di antara hujan yang merintik satu-satu
sol tebal tumit sendal dan cara duduk
seperti perempuan yang tak pandai menipu
puji tuhan, dia seorang ibu

kepadanya, kota ini mengajarkan hidup
makanan harus sampai paling pagi
mangkok dan piring telah tercuci
sebelum pengunjung pertama memesan bakmi

cuci piring lagi, cuci piring lagi
kios sendiri baru buka malam hari
memunguti bola di lapangan tenis karebosi
sesekali, hanya saat ramai kompetisi

tak ada yang akan meninggalkanmu sendiri
kecuali bila kau pelukis sepi
penulis puisi

"kau tahu, apa alasan mereka menutup tempat ini?"
dia mestinya paham, seseorang tak perlu jadi mahatahu

"mereka takut, kita belajar berontak
pada hujan yang congkak."

makassar, november 07

Sabtu, 03 November 2007

mencoba menerjemahkan sajak Tagore

SIR RABINDRANATH TAGORE, barangkali, sebab gemar membaca esai-esai Goenawan Mohammad, aku menjadi suka pada penyair kelahiran Calcutta, India ini. Pasalnya, GM teramat kerap menyitir sajak-sajak Tagore, tentu saja dengan kemampuan GM mengindonesiakan sajak asing yang sempurna, sehingga sajak-sajak itu tak berkurang gaungnya ketimbang bahasa aslinya yang Bengali.

Dilahirkan di sebuah keluarga kasta brahma yang mulia, Tagore berkembang menjadi seniman yang senang memadukan kebudayaan barat dan India. sehingga tak heran, dia disebut-sebut sebagai pelopor gerakan Renaissans Bengali. Dan tak heran pula, hadiah nobel sastra tahun 1913 jatuh ke tangannya. Reputasinya dikenal luas sebab sajak-sajak dan novel-novelnya yang mistis. Selengkapnya tentang Tagore, bacalah di sini

metode penerjemahan

Ini adalah kali kedua aku menerjemahkan sajak asing setelah dua bulan lalu sajak Pablo Neruda. Tentunya dengan metode yang tak jauh berbeda. Aku harap kegiatan menerjemahkan ini dapat kurutinkan. Mengingat dalam sebuah buku yang hampir terbit, aku pernah membaca, salah satu latihan yang baik dalam menulis sajak adalah dengan menerjemahkan sajak asing.

Sejenak lupakan dulu soal stigma yang menyebut para penerjemah karya sastra asing adalah orang-orang kelas dua, sembari berusaha menajamkan diksi dan memperkaya pengetahuan tentang struktur puisi. Kalimat di sini dengan di buku itu memang tak sama persis, tapi paling tidak, seperti itulah intisari yang dapat kutangkap darinya (ada apa? merasa kenal dengan buku itu?).

Sekali lagi ini cuma coba-coba.

maka beginilah hasil terjemahan itu:

*Negeri Dongeng*

andai banyak yang datang dan ingin tahu di mana istana rajaku berada, tersesaplah dia di udara
tembok-temboknya adalah perak putih bersinar dan atap-atapnya emas berpendar
baginda ratu tinggal di istana berpagar tujuh taman, mengenakan permata disepuh kekayaan dari tujuh kekaisaran
namun biar kucerita padamu, bunda, dalam sebuah bisikan, di mana tempat istana rajaku berada;
pada sepetak sudut rumah kita, tepat di sepokok tulsi merimbun dalam pot
yang mulia puteri, tidur terkelampai jauh di tepian tujuh lautan tak tergapai
tak seisi semesta pun mampu menemukannya kecuali daku
gelang-gelang menggelung lengannya, bebutir mutiara menjuntai kupingnya; lelampai rambut membelai lantainya
akan terjaga dia saat tersentuh oleh tongkatku yang tuah, dan senyumnya rontokkan bebutir permata dari bibirnya
namun biar kubisikkan padamu, bunda; dia ada tepat di sepetak sudut rumah kita, tepat di sepokok tulsi merimbun dalam pot
ketika sampai saatmu membasuh tubuh di alir sungai, mendakilah ke atap petak itu
daku duduk menyudut saat bayang tembok berjejalin dengan bayang tembok yang lain
cukup kucing yang kuizinkan menyudut bersamaku, agar dia tahu di mana tinggal ahli cukur dalam kisah ini
tapi bunda, biar kuberbisik di telingamu, di mana tinggal ahli cukur itu; tepat
pada sepetak sudut rumah kita, tepat di sepokok tulsi merimbun dalam pot

dan beginilah versi inggrisnya:

*Fairyland*

If people came to know where my king's palace is, it would vanish
into the air.
The walls are of white silver and the roof of shining gold.
The queen lives in a palace with seven courtyards, and she
wears a jewel that cost all the wealth of seven kingdoms.
But let me tell you, mother, in a whisper, where my king's
palace is.
It is at the corner of our terrace where the pot of the tulsi
plant stands.
The princess lies sleeping on the far-away shore of the seven
impassable seas.
There is none in the world who can find her but myself.
She has bracelets on her arms and pearl drops in her ears; her
hair sweeps down upon the floor.
She will wake when I touch her with my magic wand and jewels
will fall from her lips when she smiles.
But let me whisper in your ear, mother; she is there in the
corner of our terrace where the pot of the tulsi plant stands.
When it is time for you to go to the river for your bath, step
up to that terrace on the roof.
I sit in the corner where the shadow of the walls meet
together.
Only puss is allowed to come with me, for she know where the
barber in the story lives.
But let me whisper, mother, in your ear where the barber in
the story lives.
It is at the corner of the terrace where the pot of the tulsi
plant stands.

catatan: Untuk kata puss, aku kesulitan menemukan padanannya. Maka dengan sembarangan kupakai saja kata kucing. Yang mau koreksi silahkan.

pagi rasa coklat

suatu hal yang perlu kau tahu
hari ini, dengan senang hati
telah aku terima seamplop pagi
yang kau kirimkan untukku

pagi berasa coklat yang pemalu
lewat seorang kurir yang senyumannya
persis senyuman tokoh kartun idolaku
katanya, dia akan mengutuk diri sendiri
andai tak datang tepat waktu

"selamat menikmati, semoga kau
tak lagi marah padaku,"begitu pesan
tertulis di bagian sisi amplop sebelah kiri
tulisan yang mengingatkanku pada
sejenis sulur-suluran yang sepanjang
tahun hanya berbunga dua kali

"mengapa," desisku setelah membuka
amplop dan mendapati pagi itu mulai mencair
"apa pabrik embun telah bangkrut
sampai nonamu susah-susah membuatkanku
sekeping pagi dengan rerumputan
berwarna kenangan dan daun-daunnya
yang berbau kesedihan."

sambil tersenyum, menjawablah kurir itu:
"nonaku paham, untuk merampungkan
mimpi yang terlambat dimulai,
kau korbankan begitu banyak pagi
yang mestinya manis buat dinikmati."

"ah, tapi ada yang dia tak tahu,
aku dan coklat tak pernah bisa
berteman di waktu sarapan," ujarku.
"jadi katakan pada nonamu,
kali lain, kirimkan saja sebuah pagi
berasa susu atau beraroma kopi
bersama foto senyumnya yang pelangi."

"baik," jawabnya, "ada pesan lain."

"katakan saja, aku tak marah lagi."

makassar, november 07

ju panggola

: si pemanggil air

/1/

keriap udara yang membakar ubun-ubun itu mengingatkanmu pada suatu tempat di mana panas dan beku nyaris menyatu. kau jumpai seorang muda sedang menyesah adiknya. bocah kecil yang terus merengek dan merengek. saat itu, para tukang teluh belum turun dari puncak tilongkabila.

"apa yang kau minta pada pasir," tanyamu. "lapang ini teramat kosong. tinggal rerumputan yang kemarin masih terhampar dan hari ini sedang terbakar."

pemuda itu tak menjawab. hanya leleh airmatanya menggenapi pertanyaanmu dengan bayangan tentang duka yatim-piatu. "dari tanah sendiri kami terusir, dan yang menjawab kami hanyalah pasir."

dan sembari berharap tuhan belum pergi, kau menyeluk kantong jubah lusuhmu. mengeluarkan sepotong ranting kering lantas menghujamkannya ke atas tanah yang lereng dan miring. potongan ranting hadiah dari seekor induk murai setelah kau menyelamatkan sarangnya.

dari lubang bekas hujaman itu, memancur air yang berkeloceh seperti oceh bayi-bayi murai kelaparan. "berhentilah menangis dan tak perlu mendidihkan air," pesanmu. "karena air ini jauh lebih hangat daripada airmatamu."

/2/

"berhentilah dulu," ujarmu seraya mengusap punggung lembu itu. "berhenti dan tinggal sebentar di tempat ini. aku akan mencari buah-buahan hutan paling segar. paling manis. buat makan kita.

"berhenti dan biarkan iring-iringan semut itu lewat. mereka tak kenal kau, tak kenal aku, pula tak kenal perjalanan kita. yang mereka kenal adalah sang ratu yang mesti diberi makan, dan bayi-bayinya yang malang.

"berhentilah di sepotong perjalanan yang hampir tanpa tujuan ini. kudengar, di dusun seberang, wabah kusta menyerang. dan sumur yang bertahun-tahun tak kesiur. semoga dalam sekali lenguhan, kau mampu memanggil kelopak mata air yang terkatup itu, agar kembali membuka. dan dengan airnya aku akan membasuh muka-muka yang luka.

"jadi tinggallah supaya aku dapat membawakanmu buah-buahan hutan paling ranum. paling bernas. agar kakimu tetap kukuh di perjalanan ini, dan lidahmu dapat melenguh di dusun nanti. biarkan iring-iringan semut itu lewat. karena mereka tak kenal kau, tak kenal aku, tak kenal perjalanan bahkan tujuan kita. yang mereka kenal, mungkin, adalah hidup yang telah ditakdirkan tanpa cinta."

/3/

anak-anak senja baru saja melukis layung, saat kau tiba di bukit itu. menemukan sebuah liang yang kelamnya lebih kelam dari campuran dawat dan malam.

miris. isi liang itu kau tatap tiada. dengan tatapan seorang pelupa tatkala menemukan kenangannya terkubur di bawah tumpukan kotoran yang terbuat dari gulungan mimpi buruk.

"mengapa tiap sumur yang kutemui selalu saja tanpa air," dengusmu sambil masih percaya tuhan belum mangkir. "air...air, bila kau ingin berguna, biarkan tubuhmu memberi minum para musafir."

dan air itu menyahut panggilanmu. membuncah seperti cermin lebar yang terus melebar. sampai di bibir liang, menyapa seorang tua yang menyanyikan melankolia untuknya. "ah, betapa lezat dirimu. jadilah lebih mulia dengan memberi minum hutan dan isinya."

lembumu tak pergi ke mana. satu kali, dia kitari bukit ini. dan air mengikuti tilas-tilas kakinya, seperti anak kecil mengejar punggung bapaknya yang bakal pergi berperang, yang setelah bertahun-tahun mungkin tak akan pulang.

senyummu lebar dan terus melebar, saat perjalanan air berhenti di titik mula. nanti, besok pagi, akan kau temukan pantulan matahari di sekeliling bukit yang telah berisi danau itu.

/4/

padaku, kau mengaku, tak sedang menunggu seseorang ataupun sesuatu. tapi nyatanya banyak yang datang dari utara. bersimpuh di kakimu yang terkelampai menghadap selatan. kau tak sedang menunggu seseorang, tapi nyatanya, banyak yang menangis di nisanmu dan membuat mukim di atas makammu.

mereka datang meminta sesuatu yang lebih abadi dari ladang-ladang gembur tempat tumbuh sayur-mayur subur.

lantas akan kau beri apa pada mereka. sementara kau hanya seorang pemanggil air yang fakir. bahkan, saat kau seharusnya sedang bersenda-gurau dengan tuhan, airmata masih merambati helai-helai benang di jubah lusuhmu. ah, airmata. kepadanya kau tak pernah suka sekaligus tak pernah lupa.

makassar, november 07


Kamis, 01 November 2007

saronde

: sebuah tarian

sampai langkah keduapuluh satu, aku harus tetap menggenggam belati di pinggangku. seolah untuk mengingatkan, jalan di depan masih banyak berbatu. menunggumu membawakan selendang sepasang; satu untukmu, satu untukku.

sampai langkah keduapuluh enam, selendang itu harus mengitari wajahmu tiga kali. seperti seorang ibu india yang mengasapi muka anaknya dengan dupa berbau restu tiap pagi. mengapa harus tiga. bukan dua seperti jumlah anak yang kau janjikan untukku. atau delapan seperti banyak tiang rumah yang ingin aku buatkan untukmu.

sampai langkah ketigapuluh dua, aku harus menahanmu untuk tetap bersamaku dalam satu lingkaran. menyamarkan jarak antara tubuhku yang tinggi semampai dan tubuhmu yang rendah rembunai. dan sebelum kau pergi, aku ingin memuji bajumu yang kuning kemuning. yang terlihat makin melorot sebab lupa kau kancing.

makassar, november 07

Rabu, 24 Oktober 2007

Danny Boy

dengan bahasa tak dapat kupahami
kau mengabarkan kedatanganmu
pun dengan bahasa tak kau mengerti
aku mengisyaratkan sesalku
:kau datang terlambat
sangat terlambat bagi seorang yang sedang
menanjak usia sepertiku

kau menatapku asing seolah bukan darah
sama yang mengalir di tubuh kita
dan kau tersenyum seolah aku tak
memiliki senyum serupa itu
senyum yang sesekali kau sembunyi saat aku
mengulur tangan buat sekadar menggendong
atau meremas pipimu

walau tak benar-benar membenci gelap
seperti kau, aku menyukai cahaya
cahaya seperti benda ajaib
yang hinggap di matamu lewat cara teramat gaib
tapi sungguh, aku tak benar-benar menyukai
matamu yang persis mata ayah itu
dan dengan bahasa tak kau pahami
aku akan mengatakannya padamu

Gorontalo, Oktober 07

Selasa, 23 Oktober 2007

riwayat tiga pengeran

/Ilato/

aku tak tahu suara apa menuntun tanganmu mengusap tubuhku yang lepuh. suara sama membimbingmu memilih hidup sebagai pertapa kembara. dengan berkelana menunggang lembu tanpa pelana, telah kau temukan arti duka pada iring-iringan semut yang tak tega kau injak sengaja.

aku selalu ingat wajahmu yang putih saat kau lalu di tengah kampung. seolah buat menjawab teka-teki yang belum rampung: "masa lalu buatku adalah rumah yang tak dapat lagi kujadikan ujung pulang, dan seorang ibu bagiku cuma pecahan kulit telur yang tak cukup indah buat dikenang."

aku memangilmu kilat, bukan pak tua seperti lazimnya. memanggilmu seperti air sumur yang mampu membaca bekas-bekas tapak kakimu yang kerut; belulangmu renta dan cuat yang seakan mampu membaca maut.

jadi suara-suara apa yang mengajakmu menggali bakal makam sendiri? makam yang kelak mendaki lereng bukit supaya orang-orang tak lagi datang meminta dan menjadikanmu nabi.

/Polamolo/

lama perempuan itu menunggu: berharap kau segera menanggalkan topengmu yang burik dan jubahmu yang sisik. agar setelah itu kau sudi mengajaknya tidur di balik kelambu yang risik.

lama perempuan itu mengenang: kaki-kakimu yang dulu lentur memainkan raga. menyepak bebola rotan sampai melenting tinggi lalu jatuh tepat di pangkuannya. perempuan--yang mula kau cinta sejak mengintipnya berenang telanjang di tengah sebuah telaga yang lengang--itu berharap kau selalu puisi seperti saat meminangnya dengan mahar masa lalumu yang lamur.

lama perempuan itu menduga: mungkin kau masih menyimpan dendammu yang pandir pada penduduk negeri yang menjadikanmu pangeran terusir. hanya karena kau lupa menyisihkan untuk mereka sepotong tebu paling manis. paling air.

lama sekali, perempuan itu merencanakan hal ini: menantimu pulang sampai esok pagi. untuk kemudian, saat kau tidur, menyelinap dalam kamarmu yang rahasia. mencari topeng, jubah dan dendammu yang usang lalu membakarnya. perempuan itu menginginkan: malam berikut tak lagi dihabiskannya dengan membeku sendiri di kamar ini.

/Limonu/

seorang bocah dari negeri tanah putih menghadap ayahnya yang raja:

"ayah, aku adalah anakmu dari perempuan yang telah kau lupa. perempuan yang menunggumu sekian lama walau dia tahu kau pasti enggan kembali padanya.

"ayah, lihatlah rambutku emas seperti rambutnya. mataku tenang seperti matamu. rambut dan mata yang pernah bertemu di satu hulu, dan kini berkumpul di tubuhku.

"ayah, engkau tak perlu menyanggah. sebab aku tak akan membantah. sebab ibu--perempuan itu--telah meyakinkanku sejak awal, keturunan biru sepertimu tak mungkin mengakui seorang anak dari muasal tak dikenal.

"ayah, tak usah aku kau rengkuh. pula tak perlu aku kau bunuh. karena aku hanya singgah barang sebentar. cuma untuk tahu, di mana tinggal lelaki yang ingin kau penggal. agar aku dapat membawa pulang kepalanya untuk kulemparkan di kakimu."

makassar, oktober 07

terinspirasi dari nama-nama pangeran dalam cerita rakyat gorontalo.

Senin, 22 Oktober 2007

benda-benda buat pernikahan kita

aku harus mengumpulkan benda-benda berikut sebelum menikahimu

PAHANGGA-- sampai limapuluh bahkan seratus tahun nanti
kita tetap akan butuh penyangga buat bangunan ini
seperti kapal yang butuh tiang layar teguh
dari karas kayu tangguh biar terlewat jutaan kayuh

pondasi kita terpacak di tanah masir
mudah jungkir bila ditelan pasir
tentu kita benar-benar butuh lebih dari seruas
batang-batang bambu lentur yang tahan air
sebagai penyangga dari datangnya gempa dan banjir
agar bangunan ini tetap tegak untuk limapuluh
bahkan seratus tahun akan datang

***
BANDAYO-- bercinta di bawah matahari
membuat kulit hitam terbakar,
mata perih dan kita tak lagi dapat menatap
wajah satu sama lain

maka aku selubungi saja langit itu
dengan sebentang kain dari baju pengantin
dan kita bercinta sampai leleh rerumputan
sembari mengira-ngira ada berapa banyak anak kita nanti
sepuluh, sebelas atau berapapun yang kita ingini
sayang aku dan kau belum dapat menghitung bintang malam nanti
karena baju pengantin kita masih mengelambu di pelipis langit

***
PUADE-- pernah kau memintaku membuatkanmu tempat duduk
dengan sandaran dari serpih langit dibesarkan pelangi
dibubuh bintang-bintang yang tumbuh
serupa wajah anak gadis menstruasi pertama kali

namun aku hanya tukang kayu dan bukan gembala peri
tak dapat seenaknya menggeser langit berubah posisi
atau sebaiknya, aku buatkan saja untukmu
tempat duduk dengan sandaran dari alir sungai yang lempang
tanpa bebatu agar tubuhmu mampu mengambang
tapi, hati-hati, ada banyak jeram sembunyi di alir lengang
memerosokkan kakimu sampai nafas habis diisap mambang

***
BILIU & SUNDI-- ini ada sepasang, satu untukmu satu untukku
pernahkah kau dengar sebuah dongeng tentang bulan dan matahari?
kata ibuku mereka dulu sepasang kekasih
bukan saudara sedarah seperti terkaaan banyak orang

ini ada sepasang, pakaikan paluwala di kepalaku
dan biar kusanggul juntai demi juntai rambutmu
mengapa sedih pengantinku? kita bukan bulan dan matahari
pula tak sedang menyesali malam maupun siang ini
apalagi kita sepasang kekasih dan bukan saudara sedarah
aku telah jatuh cinta pada alismu yang tak dicukur rapi
jadi biarkan aku menikmati tuah benda-benda
yang susah-payah aku kumpulkan buat pernikahan ini

makassar, oktober 07

catatan: benda-benda di atas dipakai dalam upacara pernikahan adat gorontalo
-pahangga: penyangga
-bandayo: peneduh
-puade: pelaminan
-biliu dan sundi: baju pengantin
-paluwala: semacam tutup kepala berbentuk tanduk untuk pengantin pria

Minggu, 21 Oktober 2007

mimpi yang ramai

semalam tidurku terganggu oleh mimpi yang ramai
mimpi suara jemari perempuan mengetik serabutan
di atas tombol-tombol keyboard komputer karatan

seperti gerombol laron,
tiba-tiba ada banyak kata berhamburan di mataku
kata-kata mengeja sestanza puisi tua
yang telah dilupa banyak penyair muda
tiap baitnya, sepotong demi sepotong
membentuk sketsa kepala, rambut, mata, mulut
leher, lengan, bahu dan
jemari seorang perempuan sedang mengetik buru-buru

"aku sedang mengetik selembar kisah yang hilang," ujarnya
"tentang kau yang ingin sekali membakar kedua bahumu
supaya hangus sepasang malaikat yang tiap hari selalu jadi beban untukmu"

makassar, oktober 07

buat chau

banyak orang, baik yang cinta
maupun benci padaku, berkata:
kau terlalu muda untuk kubikinkan sajak
mungkin kata-kata teramat berat buatmu
menari pun tak mampu
bahkan setelah kaki-kakinya tak lagi
berselimut sepatu

bukan salah angin kata-kata tersaput
sisanya tinggal sebagai jejak-jejak kabut
bukankah angin enggan berbelok dari haluan yang jujur
pula tak suka menyela antara mata sedang tidur

"adik, apakah bohong dan pura-pura adalah dua perkara berbeda?"
aku masih harus menanyakan itu walau kau menjawab:
"aku mesti berhenti menangis di depanmu"

jangan salahkan angin, hujan atau airmata
sebab mereka enggan berbelok dari haluan yang jujur
dari kata-kata yang jarang tidur
"apakah aku mesti berhenti bohong dan pura-pura?"

makassar, oktober 07

tumbilotohe*

langit yang kau ceritakan tempo hari
malam ini menjelma hamparan kosong yang sunyi
para malaikat telah meminjam cahaya dari bintang-bintang renta
untuk disemai ke tubuh bumi

perlahan, cahaya-cahaya itu tumbuh,
berkecambah dan kau dapat memanennya esok hari

gorontalo, oktober 07

*perayaan pelita. setiap malam ke 27 bulan ramadhan (yang dipercaya sebagian besar orang sebagai lailatul qadar) di setiap rumah, di gorontalo, penduduk menyalakan pelita. membuat kota ini dipenuhi cahaya sekaligus asap. dan minyak tanah pun semakin langka.

bandara, sebuah ruang tunggu

tak ada sesuatu pun yang bisa aku tinggalkan untukmu
tidak kecuali musim hujan yang perlahan menguap di wajahku

malam diam, mungkin berpikir
: mengapa orang-orang terlihat sibuk saat ini
"permisi, pesawat berikut berangkat jam berapa?"

pada kepulangan kali ini, aku harap waktu
tak menjadikanku asing di hadapan masa lalu
dan senyum gadis-gadis tetap sederhana
seperti nyala padma di kuncup hidung mereka

malam diam, masih meraba
"apakah tujuan kita sama?"
"tidak, aku sedang menuju jawaban lain
untuk pertanyaan berbeda."

ah perjalanan seringkas ini
untuknya, barangkali tak ada sesajak pun menjadi

makassar-gorontalo, oktober 07

jalan kota

di kota ini, jalan-jalan meleleh
seperti kenangan yang benci tubuh sendiri
sehingga tiap pejalan-kaki mesti berjalan perlahan
amat hati-hati

entah di retakan jalan mana
pernah aku tanam ingatanku
tentang rimis-rimis cahaya dari matamu
tentang suatu waktu
ketika jarum jam sempat sejenak tak berdetak
setelah sececap ciuman yang kau titipkan di bibirku
menemaniku pulang dengan kedua tungkai yang layu

setiap kelok di jalan-jalan kota ini
mengingatkanku pada alir sungai
di rambutmu yang urai
pada kenangan yang tiap kali kau potong
akan bertambah panjang, semakin memanjang
dan semakin nakal menjawil punggungmu

suara seperti langkah-langkah berat tercekat malam ini
adalah suara rerontokan hujan yang melanggar janji
pada kemarau yang telah menentukan bulan dan hari
sementara di dadaku ada cemas membongkah-batu
cemas akan ingatanku yang mungkin tengah meleleh
di suatu retakan. setelah sekian lama aku abaikan


gorontalo, oktober 07

Selasa, 02 Oktober 2007

riwayat kata

jangan tanyakan padaku, adik
dari pohon mana dedaunan kata dipetik
lalu menjelma sajak-sajak kemerisik

jauh sebelum terlahir di bibir penyair
kata-kata telah berkelindan di jari-jemari
para penyihir
menghasut suami-suami agar berpaling
dari istri-istri yang pandir

seperti hantu, kata-kata pernah bersembunyi
di puri-puri tinggi tak berpenghuni
memang, sejak dulu kata-kata bukan milik petani
pongah dan tak sudi menjejak tanah

benar sekali, adik
kata-kata paling purba adalah nama
bagi benda-benda agar terdengar berbeda
tak perlu telunjuk untuk membedakan
mana perdu mana randu
mana palung mana gunung
kata-kata telah memberi mereka
masing-masing sebuah nama
dan biarlah telunjuk membantu
jemari lain bekerja

adik, adik, adik
jangan sekali-kali bertanya padaku
tentang asal mula sebuah nama
bukankah adam dan hawa pun
adalah sepasang nama?
dan tentang kata yang mereka ucap
kala bertemu kali pertama
sungguh, bagiku itu masih jadi rahasia

makassar, 01 oktober 07

Minggu, 30 September 2007

mencoba menerjemahkan neruda

PABLO NERUDA, pertama kali mengenal penyair Chili peraih nobel sastra tahun 73 ini adalah lewat kumpulan sajak dan surat cinta yang disusun Paul B. Janeczko. Mulai suka ketika membaca sajak-sajaknya di blog sejuta puisi milik Hasan Aspahani (HAH). Semakin suka ketika aku coba memelajari soneta. Dan jadi tergila-gila setelah mendiskusikannya dengan Aan Mansyur.

Semula aku cuma berniat mengutip beberapa sajaknya yang telah diterjemahkan HAH untuk kusisipkan dalam cerpen--yang jika memungkinkan bakal jadi novel--ku. Tapi aan lantas melarang. "Kenapa tidak menerjemahkannya sendiri saja?" katanya. Hmm, ide yang tak begitu buruk. Sekalian untuk mengasah diksi-diksiku.

Karena itu, hari sabtu (28/09/07) kemarin, aku putuskan menjelajahi situs poem hunter buat mencari sajak-sajaknya yang mungkin bisa aku terjemahkan. Sulit memang, karena semuanya tampak pantas untuk diterjemahkan dan dinikmati. Namun dari semuanya aku menemukan satu yang paling aku sukai.

metode penerjemahan

Dalam prosesnya, penerjemahan ini bukan tanpa kesulitan. Sebab penerjemahan yang dilakukan terlalu kaku akan membuat sajak terasa kering. Menerjemahkannya secara serampangan pun akan membuat hasilnya berantakan. Aku yakin setiap bahasa memiliki rasa sendiri-sendiri. Seperti masakan. Tentu lidah kita akan terasa asing dengan bumbu-bumbu yang tak lazim di negeri kita, walaupun di mana-mana masakan adalah sama saja; buat ditelan, dikunyah, lantas masuk perut setelah singgah sejenak di kerongkongan. Sajak begitu pula. Ada kesan rasa yang berbeda antara orang yang berbahasaibu spanyol, inggris ataupun indonesia.

Sebab itulah, dengan kenekatan yang mungkin cukup gegabah, aku membumbui sajak asing ini dengan beberapa jenis 'rasa' yang aku pikir dapat diterima orang indonesia. Menerjemahkannya pun tidak kata per kata atau larik per larik. Baca semua dahulu dengan terjemahan seadanya, lalu tangkap imaji yang berusaha disodorkannya (Neruda) dengan menggunakan interpretasi sendiri. Baru kemudian, dengan berpenakan interpretasi tersebut aku menuliskan kembali sajak ini. Itu pun menurutku masih jauh dari separuh sempurna. Karena sajak di bawah ini aslinya berbahasa spanyol, bukan bahasa inggris, yang menurut aan, sudah mengalami banyak bias dan distorsi ketika diterjemahkan(karena perbedaan rasa itu tentunya).

Sekali lagi, yang aku lakukan ini adalah sebuah usaha yang sifatnya coba-coba. Punya kemungkinan berhasil maupun sebaliknya, gagal total. Dan karena ini percobaan pertama (dalam hal menrjemahkan sajak asing), kemungkinan gagal tentu akan lebih besar ketimbang kemungkinan berhasilnya. Sebuah kenekatan yang gegabah.

inilah hasil terjemahan itu:

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini

menulis, seperti ini: malam retak
dan bintang biru bergetar di jauhan

udara malam berkelindan dan bernyanyi di angkasa

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini
aku cinta dia, dan sesekali dia mencintaiku pula

pada malam-malam seperti malam ini, mestinya kurengkuh dia di lenganku
mengecupnya, lagi, berulangkali diselingkup langit tanpa muara

sesekali dia mencintaiku, dan aku cinta dia pula
bagaimana bisa seseorang abai akan matanya yang dalam

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini
dalam renung tak tercapai, dalam rasa ia tak tergapai

menyimak malam larat, bertambah larat sebab dia tiada
dan larik-larik menetes-netes di jiwa
seperti embun di padang rumputan

percuma saja cintaku, menjaganya pun tak mampu
malam retak dan dia tak bersamaku

itu saja. seseorang bersenandung di jauhan. di jauhan
jiwaku larat dan dia tak bersamaku

tatapku mencarinya, sebagaimana aku juga
hatiku mencarinya. dan dia masih tiada

malam sama putihkan pepohonan sama
kita, pada saat sama, tak lagi sama

tak lagi aku mencintanya, sungguh, tapi nyatanya masih
suaraku mencoba mencari udara yang mampu berdenting di dengarnya

asing. perlahan dia menjadi asing. seperti kecupan-kecupanku sebelumnya
suaranya yang andai, tubuhnya yang lampai, matanya yang rinai

tak lagi aku mencintanya, sungguh, tapi mungkin masih
cinta teramat lekas, buat lupa waktu tak bisa diringkas

karena pada malam-malam seperti malam ini mestinya kurengkuh
dia di lenganku
jiwaku larat setelah dia tiada

walau setelah ini tak akan ada luka yang disebabkannya
dan larik-larik ini adalah yang terakhir aku tuliskan untuknya
***

adapun inilah versi bahasa inggrisnya :

Tonight I can write the saddest lines

Tonight I can write the saddest lines.

Write, for example,'The night is shattered
and the blue stars shiver in the distance.'

The night wind revolves in the sky and sings.

Tonight I can write the saddest lines.
I loved her, and sometimes she loved me too.

Through nights like this one I held her in my arms
I kissed her again and again under the endless sky.

She loved me sometimes, and I loved her too.
How could one not have loved her great still eyes.

Tonight I can write the saddest lines.
To think that I do not have her. To feel that I have lost her.

To hear the immense night, still more immense without her.
And the verse falls to the soul like dew to the pasture.

What does it matter that my love could not keep her.
The night is shattered and she is not with me.

This is all. In the distance someone is singing. In the distance.
My soul is not satisfied that it has lost her.

My sight searches for her as though to go to her.
My heart looks for her, and she is not with me.

The same night whitening the same trees.
We, of that time, are no longer the same.

I no longer love her, that's certain, but how I loved her.
My voice tried to find the wind to touch her hearing.

Another's. She will be another's. Like my kisses before.
Her voice. Her bright body. Her inifinite eyes.

I no longer love her, that's certain, but maybe I love her.
Love is so short, forgetting is so long.

Because through nights like this one I held her in my arms
my sould is not satisfied that it has lost her.

Though this be the last pain that she makes me suffer
and these the last verses that I write for her.
***

Jumat, 28 September 2007

kertas resep

: emha

baru saja cinta menghabiskan banyak kertas
saat aku sadar sungai-sungai dalam tubuhku
telah berhilir ke arah yang salah
singgah di tempat mana warna-warna rebah
sehabis jauh berkelana
lantas dibuai hitam yang masih setia berjaga

semalaman ini aku sibuk menjumput kata-kata
yang berlari-berputar-putar di atas kepala
minta dituliskan sebagai sajak di atas kertas
yang tersisa
namun kertas telah habis oleh cinta
dan kertas terakhir seolah mengeluh kedinginan
tak jelas pada lilin ataukah rembulan
"tubuhku yang mudah terempas ini," desisnya
"tak sanggup lagi mendekap rahasia sendirian"

maka biarlah; kata-kata, warna-warna, sungai-sungai
menjadi sajak cinta yang tertunda

sampai aku dapat bertanya padamu:
"adik, masihkah terasa perih itu di perutmu?"

lalu kau mungkin akan balas bertanya:
"kakak, obat macam apa yang dapat mengusir
rasa sakit ini?"

dan aku akan menjawab dengan suaraku yang kertas:
"untuk menghilangkan masam di lambungmu,
berhentilah mengunyah gelisah."

makassar, 28 september 07

Rabu, 26 September 2007

tiket kertas

aku selalu curiga
setiap titik-koma barangkali memiliki pola
huruf-huruf dan angka-angka
adalah kode rahasia
petunjuk di mana kau berada

"tolong beri aku satu
tiket kereta paling laju
mungkin seseorang sedang menungguku
di kota itu..."

ting..tong...ting...tong

calon penumpang yang terhormat
kereta malam supercepat
jurusan kota larat
telah siap di peron empat
sebentar lagi akan berangkat
diharapkan untuk tidak terlambat

tong...ting..tong...ting


"tolong beri satu
tiket kereta paling laju
buatku yang sedang diburu waktu
dan rindu..."

uang kertas

selalu saja saat kita saling tatap
warna-warna itu hadir tetap
: hijau, merah, abu-abu
sesekali ungu bernyala-padam di wajahmu

hijau aku tafsirkan sebagai lumut
tempat langkahmu tergelincir luput
barangsiapa dengan sengaja
meniru, memalsu airmata
atau dengan sengaja
menyimpan serta mengedarkannya
diancam hukuman menangis selamanya

pernahkah kau dengar peringatan serupa?

merah aku tafsirkan sebagai marah
dan abu-abu sebagai tabu
ah, milikku paling berharga
tinggal seonggok lemari tua
tempat menyimpan janji-janji lama
yang tak kunjung kau tepati jua
warna-warna itu timbul-terendap di wajahmu

sesekali ungu menjadi sepi
sepi yang tak mampu aku tafsirkan sendiri

Selasa, 18 September 2007

Cinta yang Bersahaja dalam Kesederhanaan Sajak Pakcik Ahmad

PAKCIK AHMAD, belum begitu lama aku mengenalnya. itu pun baru sebatas bertemu di dunia maya--lewat blog. menikmati sajak-sajaknya yang ringkas namun padat membawaku kembali belajar filsafat. terutama filsafat cinta.

simaklah sajaknya berikut:

Dua Belas

selamanya cinta sangat mudah dipahami
pada batu yang menjadi dewasa oleh tetesan air
atau sumbu yang langka di bara lilin

: mengapa mata kita masih saja menjadi tuli ?


*ciputat 040807 ~ 12 tahun kami

---------------------------------------------------------------------

selamanya cinta sangat mudah dipahami


dengan berpisaukan larik ini pakcik telah berhasil melakukan dua hal; mematahkan pameo tua: love is complicated-- cinta itu rumit--, sekaligus membuatku merenung lama. jika ia sangat mudah dipahami, lantas mengapa persoalan cinta bagiku masih juga teramat sukar dimengerti? nyatanya cinta tak dapat dibahas secara matematis, diuji klinis dan dipaparkan menggunakan metode-metode saintis. ketika cinta coba dibawa ke dalam majelis ilmiah, esensinya sontak mendadak kering. dan ia bukan lagi sesuatu yang teramat elok dan manis. pendeknya larik ini memunculkan sebuah konklusi: cinta yang tak bisa dipahami adalah cinta yang sama sekali tidak dijalani.

pada batu yang menjadi dewasa oleh tetesan air

nah! untuk memahami cinta, pakcik kemudian memintaku belajar pada batu yang "dewasa" oleh tetesan air. tetes demi tetes air yang mengikis membentuk ceruk pada batu. sekilas si batu terlihat merana. namun pakcik sekali lagi membuatku tercenung. ia memunculkan sebuah fakta baru, bahwa ceruk pada batu adalah sebuah pertanda kedewasaan. seperti jakun pada lelaki dan payudara untuk perempuan. di sini bentuk fisik tak menjadi penting. pakcik berusaha memperlihatkan kedewasaan yang tangguh pada batu yang didera tetesan air terus-menerus.

atau sumbu yang langka di bara lilin

luarbiasa! sudut ini terlihat begitu memukau. dan jika seseorang menafsirkannya secara dangkal niscaya si penafsir akan terjungkal. bayangkanlah cinta lebih mudah dipahami pada sumbu yang dilahap bara lilin, ketimbang pijaran bohlam dengan kawat tungstennya yang tahan panas. jelas pakcik berusaha menitikberatkan pada persoalan pengorbanan. agar lilin terus menyala, maka sumbu mesti terbakar.

: mengapa mata kita masih saja menjadi tuli ?

ayolah, setelah memintaku belajar cinta pada batu dan sumbu, kali ini engkau balik mengejekku, pakcik. dan bukan hanya aku, banyak orang yang sekadar memahami cinta seadanya harus pula tersindir oleh larik ini. lihatlah, pakcik tidak berkata: hati kita buta dan tuli-- sebuah ungkapan klise yang jika digunakan tentu akan merusak sajak ringkas nan gagah ini. tapi mata (penglihatan) dan tuli (pendengaran) yang disatukan. mungkin larik ini terlahir gara-gara proses kelahiran cinta itu sendiri; lelaki jatuh cinta lewat mata, perempuan jatuh cinta lewat telinga. sebuah larik yang mengingatkan kita lagi akan cinta yang universal. bukan soal lelaki yang jatuh cinta pada perempuan atau pun sebaliknya.

*ciputat 040807 ~ 12 tahun kami

terima kasih pakcik, ketimbang mengguruiku soal cinta, alih-alih kau memintaku belajar pada batu dan sumbu. dua jenis benda sederhana yang jarang dibahas oleh sajak. pesan moral yang barangkali: jika kita berpikir secara sederhana, belajar lewat hal-hal sederhana, maka sesuatu yang rumit akan terlihat lebih bersahaja.

tentang pakcik: Entah kekuatan magis apa yang menyelipkan mantra dan jampi-jampi ke diriku sehingga kata begitu menyihir. (aku cuma menemukan tulisan ini di blognya.)

Suara-suara Kertas

Sssrr... Sssrr... Sssrr...

Pada air, helai-helai itu mengapung
Mengingatkanku pada mata paling palung
Pada punggung tanganmu yang menuntunku menangkap capung
Jauh dari laut, jauh dari kolam
Tempat capung istirah merendam tungkai
Aku jadi ragu menitip rindu lewat musim yang muai

Ssshh... Ssshh... Ssshh...

Pada udara, helai-helai itu membelai
Mengingatkanku pada urai paling lambai
Pada bait-bait syair yang kau baca buat semilir
Buat sungai yang berhenti mengalir
Batu yang cadas, kayu yang karas
Dan telur-telur unggas urung menetas
Seperti sawah terlunta di dataran panas

Ssskk... Ssskk... Ssskk...

Pada tanah, helai-helai itu menjamah
Mengingatkanku pada raut paling ramah
Pada kabut yang saban subuh berkerumun di bubung rumah
Dalam matamu yang palung dan berkabut
Masihkah capung kolam itu terjebak di sana,
Seperti kemarau yang menjebakku di sini
Di sunyi yang teramat jauh dari lautan ini

Makassar, 18 September 07

Senin, 17 September 2007

Ayunan Kertas

Semula, karena tak bertemu hutan
Karena kayu telah rela mengabu
Demi menyulut hidup tungku-tungku
Akar, rotan, belukar, bahkan perdu
Menjelma dipan, tikar, dan selimut lampu
Lantas, dari apa akan aku buat ayunan itu?

Semula, karena membayangkanmu sebagai bebulu
Karena diapung angin dari hulu ke hulu
Pintu ke pintu, dari rindu ke rindu
Punggungmu seolah layangan lepas
Tempat menulis sajak-sajak ringkas
Dan olehnya aku akan membelah kertas
Bakal ayunan buat tubuhmu yang kapas

Semula, karena ayunan mesti bertemali
Karena temali paling lembut adalah sayap-sayap peri
Sedang peri-peri masih sibuk belajar origami
Melipat angsa, menggunting telaga
Membuat sayap yang ujungnya dapat dikuncup-dibuka
Maka aku pilih memintalnya saja
Lalu biarkan temali itu memilih sendiri gayutannya

Mungil, ringan, dan bersayap seperti peri
Ayunan telah sedia berlayar menuju negeri jutaan origami
Naik dan berpeganganlah pada temali
Biar aku mendorongmu dari buritan
Nanti setelah tubuhku menjelma daun
Ganti kau yang mendorong bahuku
Dan saat hujan terlihat bersiap turun
Lipat dan simpanlah kembali ayunan itu

Makassar, 16 September 07

Sabtu, 15 September 2007

Musim yang Ragu

Sebuah perbincangan rahasia
:langit kelabu, pepucuk pohon saat terluruh

Cuaca menunggang ranting-ranting kecil
Dari batang yang rungkuh
Patuh mengayuh tarian angin yang ragu

Ini musim macam apa?
Tak tepat buat menanam benih-benih nyanyian
Yang hangat di tubuhmu

Tinggi, bertambahlah tinggi
Dan kita kan bercinta
Tanpa peduli pada musim pula cuaca

Makassar, 26 Agustus 2007

Kertas dari Sehelai Hari

Selembar kertas yang tercipta dari sehelai hari
Aku tulis namaku di sudut kiri atas
Di bawah kotak persegi
Yang sementara aku kosongkan
Buat namamu jika tak keberatan

Kertas itu terlihat lisut
Seperti malas yang enggan untuk beringsut
Seperti bulu-bulu kakiku yang menghutan

Kertas itu terlihat keriput
Mungkin karena kemarau
Pepohonan enggan berbunga
Apalagi berbuah, apalagi berbagi keteduhan

Namun kertas lisut keriput itu pula yang aku pakai
Untuk menulis cerita
Yang idenya aku rampok
Dari kisah cinta temanku dan pacarnya
Maaf untuk temanku, maaf untuk pacarnya
Aku tak punya kisah cinta yang indah buat dicerita

Tak seperti penulis kebanyakan
Aku tak pernah memulai cerita dari bagian awal
Bukan pula dari bagian akhir
Aku selalu memulai dari tengah
Karena aku terbiasa bangun di pertengahan hari
Mungkin butuh bantuanmu untuk menulis awal cerita ini
Awal hari ini
Karena aku yakin kau selalu bangun paling dini
Untuk sekadar sholat dan mengaji
Sedang untuk akhir cerita
Aku akan minta bantuan teman penulisku
Yang pandai membikin kejutan di akhir
Maaf untukmu, maaf untuk temanku
Hari-hariku tak punya awal dan akhir
Yang cukup pantas untuk jadi seutuhnya cerita

Kertas lisut itu tambah keriput berkerut-kerut
Masih banyak ruang kosong tersisa
Selain pertengahan cerita,
Namaku di sudut kiri atas
Dan kotak persegi yang sengaja aku kosongkan
Buat namamu jika tak keberatan

Makassar, 10 September 2007

Pintu

Kau lihat pintu itu, Adinda?
Dahulu kau datang dari situ
Seragam putih dan kacamata bergagang biru
Serta lingkaran berputar lamat di atas rambutmu
Yang berbau taman sehabis hujan itu

Lingkaran itu mencuatkan duri, menitiskan nyeri,
Sesenggukan tak henti-henti
Seperti mahkota Yesus tatkala disalib sebelum mati
Aku ingin menjadikannya putih
Tidak merah seperti lampion di beranda rumahku
Putih seperti mahkota Yesus tatkala bangkit setelah mati

Kau lihat pintu itu, Adinda?
Ke situ pula kelak kau pergi
Membawa serta bau taman sehabis hujan,
Lingkaran duri yang telah berubah putih
Dan sebuah buku berisi puisi
Tentang cinta, tentang Neruda
Tentang cinta yang mengikat kaki-tangan Neruda

Pintu itu, di sisinya sebentuk lukisan dinding terekat
Lukisan tentang makan malam terakhir Yesus
Bersama murid-muridnya
Sebelum disalib, mati dan kemudian bangkit kembali

Makassar, 10 September 2007

Tanjung Bayang, Pada Warna-warna

Nyala apa yang lebih cahaya
Dari warna-warna yang menimpa
Rapuhnya dedaunan palma?

Hijau berlarut jingga
Jingga besemu kuning
Dan kuning mengubah air
Jadi serpihan emas bergayutan
Di ranting-ranting

Senja telah terperangkap dalam mataku
Tak bisa lari seperti jejak-jejak kaki
Terbenam pusaran pasir kelabu
Mungkin bayangnya lebih dulu
Hadir di tempat ini
Sebagai tubuh perawan rebah
Dijamah gelombang yang berguling gelisah

Di sini, tempat di mana bulan terlahir
Dari rahim terumbu karang ini
Nyala warna-warna pun lenyap
Bersama kepergian para dewa

Makassar, 3 September 2007

Delapan Sajak Pendek Musim Kemarau

(1)

Ada retakan merayapi tanah kering
Berujung pada tangkai randu di gayutan ranting
Batang digoyang buahnya ikut terpanting

(2)

Dan air selokan berwarna cokelat
Membabas kotoran timbul tenggelam, hendak ke mana?
Ke negeri yang jauh, jawabnya

(3)

Terengah, seekor anjing menjulurkan lidah
Siang yang gerah di bawah pokok belimbing
Si anjing singgah sekadar kencing

(4)

Sementara keciap sepasang burung gereja
Merayakan sarang baru; jejalin rumput, akar garing
Walau udara masih hening. Bergeming

(5)

Jemarimu fasih menjumput dedaunan gugur
Tatkala dingin berliur mengerkah senja yang berangsur
Pekarangan kita kembali pulas tertidur

(6)

Dan malam pula yang mengenangkanku
Pada percakapan kita yang sunyi dan dingin
Pada peperangan yang membunuh musim

(7)

Langit agustus, bersih dan lengang
Belati macam apa yang mengiris separuh purnama
Menyisakan separuh lagi untuk kesepian

(8)

Inilah suasana Mozart dilingkupi sepi
Menggiring penyair menulis takdir dan—tentu saja—mimpi
Tanpa aba-aba: mundur atau berhenti

Makassar, Agustus 2007