Selasa, 23 Oktober 2007

riwayat tiga pengeran

/Ilato/

aku tak tahu suara apa menuntun tanganmu mengusap tubuhku yang lepuh. suara sama membimbingmu memilih hidup sebagai pertapa kembara. dengan berkelana menunggang lembu tanpa pelana, telah kau temukan arti duka pada iring-iringan semut yang tak tega kau injak sengaja.

aku selalu ingat wajahmu yang putih saat kau lalu di tengah kampung. seolah buat menjawab teka-teki yang belum rampung: "masa lalu buatku adalah rumah yang tak dapat lagi kujadikan ujung pulang, dan seorang ibu bagiku cuma pecahan kulit telur yang tak cukup indah buat dikenang."

aku memangilmu kilat, bukan pak tua seperti lazimnya. memanggilmu seperti air sumur yang mampu membaca bekas-bekas tapak kakimu yang kerut; belulangmu renta dan cuat yang seakan mampu membaca maut.

jadi suara-suara apa yang mengajakmu menggali bakal makam sendiri? makam yang kelak mendaki lereng bukit supaya orang-orang tak lagi datang meminta dan menjadikanmu nabi.

/Polamolo/

lama perempuan itu menunggu: berharap kau segera menanggalkan topengmu yang burik dan jubahmu yang sisik. agar setelah itu kau sudi mengajaknya tidur di balik kelambu yang risik.

lama perempuan itu mengenang: kaki-kakimu yang dulu lentur memainkan raga. menyepak bebola rotan sampai melenting tinggi lalu jatuh tepat di pangkuannya. perempuan--yang mula kau cinta sejak mengintipnya berenang telanjang di tengah sebuah telaga yang lengang--itu berharap kau selalu puisi seperti saat meminangnya dengan mahar masa lalumu yang lamur.

lama perempuan itu menduga: mungkin kau masih menyimpan dendammu yang pandir pada penduduk negeri yang menjadikanmu pangeran terusir. hanya karena kau lupa menyisihkan untuk mereka sepotong tebu paling manis. paling air.

lama sekali, perempuan itu merencanakan hal ini: menantimu pulang sampai esok pagi. untuk kemudian, saat kau tidur, menyelinap dalam kamarmu yang rahasia. mencari topeng, jubah dan dendammu yang usang lalu membakarnya. perempuan itu menginginkan: malam berikut tak lagi dihabiskannya dengan membeku sendiri di kamar ini.

/Limonu/

seorang bocah dari negeri tanah putih menghadap ayahnya yang raja:

"ayah, aku adalah anakmu dari perempuan yang telah kau lupa. perempuan yang menunggumu sekian lama walau dia tahu kau pasti enggan kembali padanya.

"ayah, lihatlah rambutku emas seperti rambutnya. mataku tenang seperti matamu. rambut dan mata yang pernah bertemu di satu hulu, dan kini berkumpul di tubuhku.

"ayah, engkau tak perlu menyanggah. sebab aku tak akan membantah. sebab ibu--perempuan itu--telah meyakinkanku sejak awal, keturunan biru sepertimu tak mungkin mengakui seorang anak dari muasal tak dikenal.

"ayah, tak usah aku kau rengkuh. pula tak perlu aku kau bunuh. karena aku hanya singgah barang sebentar. cuma untuk tahu, di mana tinggal lelaki yang ingin kau penggal. agar aku dapat membawa pulang kepalanya untuk kulemparkan di kakimu."

makassar, oktober 07

terinspirasi dari nama-nama pangeran dalam cerita rakyat gorontalo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar