Kamis, 29 November 2007

di sebuah kafe dekat pelabuhan

di kafe dekat pelabuhan itu
aku duduk sejak pukul tiga
lewat empat lima sore
dan memesan apa saja
untuk bisa melupakanmu
tapi cuma kopi susu
dan roti bakar rasa keju
yang kutemukan di daftar menu
apa tak ada yang lain?

seorang pelayan berkaos abu-abu
menjawab: sebenarnya, dulu
kafe ini pernah menyediakan
hidangan laut bumbu kesedihan
lengkap dengan jus rasa kekosongan
tapi hanya sedikit yang beli
dan kami terus merugi

maka kupesan saja
segelas kopi tanpa susu
dan sekeping roti tanpa keju
biar sesekali hidup kunikmati seperti ini:
pahit dan tawar

di kafe dekat pelabuhan itu
aku duduk berhadap-hadapan
dengan bangku kosong
satu-satunya yang dapat kuajak bicara
selain pelayan dan sunyi, tentu saja.

aku dapat mendengar laut bergetar
dilalui kapal-kapal
ada yang datang, ada yang hilang
ada pertemuan dan ada yang betah
bicara dengan sunyi

mengapa begitu sulit?
mencintaimu berkali-kali
untuk melupakan mestinya cukup sekali

di kafe dekat pelabuhan itu
aku duduk, meremas gelas, lalu sadar
telah menghabiskan bergelas-gelas kopi
dan berpiring-piring roti tanpa isi
ketika pelayan itu mengingatkan
dini hari sebentar lagi
kafe akan tutup dan aku harus pergi

kukatakan padanya:
tak bisakah, untuk malam ini
kau membiarkanku menikmati
rasa sakit, sendiri?

pelayan itu tersenyum
sanyum yang terlampau sabar
untuk seorang pelanggan cengeng seperti aku
kau tahu, ujarnya setelah jeda beberapa saat
aku pikir kaulah yang sedang mendera dirimu sendiri
maka pulanglah, tidur dan tolong jangan bermimpi

aku turuti sarannya
membayar semua makanan dan minuman
dan bersiap pulang untuk rebah
di ranjang yang mungkin telah jengah
dengan bau tubuh, airmata dan keluhan
yang itu-itu saja

pelayan berkaos abu-abu itu
menyodorkan sesuatu terbungkus
kantong plastik hitam padaku
ini roti rasa keju, gratis, bisiknya
sesekali nikmatilah hidup seperti ini:
manis, asin dan asing.

makassar, november 07

Jumat, 23 November 2007

entah berapa kali malam kuhabiskan seperti ini

entah berapa kali malam kuhabiskan seperti ini
menghitung bulir embun yang terbentuk di pucuk-pucuk
tiap daun, tiap dahan pekarangan kusam berwarna lukisan

lalu kucari diriku sendiri dalam sunyi paling puisi
tempat, yang entah bagaimana, selalu kutemukan namamu,
matamu dan lubang selebar bulan yang pernah kautinggalkan di jantungku

aku suka akan cara malam mengajariku mencintai
sama halnya puisi mengajariku cara melupakan
cinta adalah hitam yang malam, bukan putih,
bukan ungu, bukan merah jambu

entah berapa kali malam kuhabiskan seperti ini
pada jalan beraspal, bukan berbatu
lampu-lampu di pucuk tiang padam satu-satu
aku berjalan sambil mengucap namamu
lalu mencintaimu, lalu berhenti
untuk kemudian melupakanmu

makassar, november 07

sihir tardji dan korek api




paman tardji, paman tardji
aku letih, aku letih

korek api, korek api
aku serpih, aku serpih

makassar, november 07

Kamis, 22 November 2007

Bermain-main lagi

Tak ada sajak beberapa hari terakhir ini. Sama-sama buntu. Aku dan Aan, seperti biasa, sepakat bermain. Berikut hasil main-mainku. Hasil main-main Aan bisa dibaca di sini.

Kata-kata berikut harus kami buat jadi sebuah sajak:

- baju kotor,
- mobil ambulans,
- karpet hijau,
- kaleng kosong,
- abu rokok,
- jam pasir.

lelaki muda dan benda-benda di kamarnya

inilah sebabnya aku pilih mempercayaimu,
bisik lelaki muda itu pada jam pasir di sudut kamar
angka-angka tak pernah jadi istri yang setia
yang senantiasa meminta suaminya tidur lebih awal saat malam
agar dapat membisikkan kalimat 'sarapanmu sudah siap, sayang'
pada esok paginya seusai bercinta.

inilah sebabnya aku tabah mendengarmu
ucap lelaki muda itu pada kaleng kosong tempat menadah
rembesan hujan dari atap yang bocor
detak detik seperti mimpi buruk berisi oceh anak-anak
yang banyak menuntut
minta ini dan itu tanpa pernah bertanya, berapa banyak
puisi bapak yang berhasil disulap jadi uang hari ini.

inilah sebabnya aku betah mendengusmu,
ujar lelaki muda itu pada lusuh lesu baju kotor
yang bergelantungan pada pepaku di daun pintu
abu sisa obat nyamuk memaksaku bergegas
menutup mimpi yang belum tamat
mimpi mencium gadis paling manis
yang ingin kujadikan istri meskipun matanya
rabun dan penyakitan.

inilah sebabnya aku tahan merebahkan tubuhku pada tubuhmu,
gumam lelaki muda itu pada abu rokok menyalju di karpet hijau
karena suatu saat aku pasti pergi tanpa jemputan,
atau nyanyian, atau sirene mobil ambulan
tanpa koran-koran memberitakan tragedi seorang penyair
yang mati bujangan.


Tak puas. kami lanjutkan permainan. Tantangannya harus lebih.

Kata-kata berikut harus kami buat jadi sebuah sajak:

- majalah bekas,
- kamar pas,
- bulu ketiak,
- hari jumat,
- pemantik api,
- ibu hamil,
- gantungan kunci,
- kaki kuda.

majalah bekas

sengaja kau beli majalah bekas itu
sekadar untuk tahu ada peristiwa apa
dua tahun lalu, di hari pernikahanmu

halaman 3-7:
sebuah wawancara dengan lima artis perempuan
korban pencabulan di kamar pas
sebuah studio pemotretan

halaman 8-9:
berita seorang ibu hamil tewas gantung diri
setelah harga susu berlipat tiga kali
masih di halaman yang sama
catatan kecil empat kolom
tentang seorang lelaki yang menangis
entah tangis sedih untuk istrinya yang mati
atau untuk sebuah kesempatan kawin lagi

halaman-halaman selanjutnya:
nyaris tak ada yang menarik
kecuali iklan gantungan kunci
yang juga berfungsi sebagai pemantik api
aneka bentuk; kaki kuda, bunga dahlia
atau kepala mantan presiden yang tetap tersenyum
setelah beberapa kali bebas pengadilan korupsi
(siapa mau beli?)

ah, masih ada satu lagi
halaman terakhir:
renungan hari jumat
tentang pentingnya membersihkan diri
menggunting kuku, mencukur kumis
dan bulu ketiak yang benar
seperti anjuran nabi

ternyata, simpulmu, selain pernikahanku
tak ada peristiwa penting terjadi hari itu.

makassar, november 07

ah, setelah membaca sajakmu, aku akui aku kalah, An!

Rabu, 21 November 2007

Ruang Istirah dalam Sajak Inez Dikara

Kita banyak menemukan penyair yang lihai bersajak pendek, namun sering kali terjungkal dalam guratan sajak-sajak panjang. Sebaliknya pun begitu.

Menulis sebuah sajak pendek lebih mudah ketimbang membuat yang panjang, inilah kesalahan yang telah lama kaprah dalam benak masyarakat awam. Sajak pendek bagaimanapun memiliki sisi-sisi yang tak dapat diabaikan. Menuliskannya tak berarti lepas dari bahaya. Salah-salah, penyair dapat terjebak dalam kedangkalan berbahasa. Secara gamblang saya berpendapat, kekuatan sajak panjang ada pada narasi, sedang kekuatan sajak pendek terletak dalam susunan kontemplasi. Sekali lagi, kalimat yang baru saja saya sampaikan tadi adalah sebuah pendapat yang belum layak dijadikan patokan.

Dalam ranah persajakan kontemporer indonesia, cukup ramai nama-nama penyair yang dikenal terampil menggunakan majas dan matra dalam berbagai metode, guna mencipta sajak-sajak pendek yang gurih. Beberapa, seperti Joko Pinurbo, gemar menggunakan ironi-ironi segar. Sementara Ook Nugroho atau Raudhal Tanjung Banua misalnya, aktif mencipta kesan-kesan metafisik. Di lini terakhir, segelintir penyair lainnya masih belum bosan mengolah tema-tema lama. Lanskap.

Inez dikara adalah salah satu dari segelintir itu. Sajak-sajaknya kebanyakan berawal atas kekaguman terhadap situasi alam sekitar. Saya memang belum sempat mewawancarainya secara langsung, tapi kesan itu acap saya tangkap lewat beberapa sajaknya.

Misalnya satu sajak di bawah ini:

sebuah galeri di sudut kota
gending jawa dan
kursi-kursi menyendiri
di halaman
meredup lampu-lampu dalam kurungan

malam begitu dahaga
ia coba teguk segala ingatan

(Sogan Village, Inez Dikara)


Rasakan usaha sang penyair memindahkan suasana malam yang visual dalam sepotong sajak yang literal. Penyair benar-benar bicara soal galeri di sudut kota, bukan yang lain. Tentang sesuatu, bukan seseorang. Sebuah sajak pendek yang kembali pada fitrahnya; tidak antroposentris, melainkan kosmosentris.

sebuah galeri di sudut kota
gending jawa dan
kursi-kursi menyendiri
di halaman
meredup lampu-lampu dalam kurungan

Tak perlu bertanya, sajak ini tentang 'kota' mana. Sebab selanjutnya, 'gending jawa' telah memberitahukan pembaca tempatnya. 'Galeri' kemudian menyempitkan mata pembaca sebelum liar meraba-raba. Semakin sempit ketika Inez menyajikan 'kursi-kursi', 'halaman', berikut 'lampu-lampu' lengkap dengan 'kurungan'-nya.

Sekarang, pembaca tinggal memilih, benda mana yang ingin disentuh. Saya pribadi akan memilih kursi sebagai perlambang rasa nyaman, tempat perenungan, atau wahana istirah yang damai. Ingin memilih lampu-lampu yang redup pun tak mengapa, meski ia terlihat suram. Jelasnya, inez membebaskan pembaca. Inez menghadirkan segala yang pernah tampak di matanya.

Lantas, di mana letak kontemplasi sajak ini? Simak lanjutannya:

malam begitu dahaga
ia coba teguk segala ingatan

Anda telah duduk? Sudah merasa nyaman dengan kesunyian? Dengan keremangan? Sekarang waktunya bersulang bersama malam. Malam yang dahaga. Malam yang haus akan ingatan. Apapun warna ingatan itu. Silahkan duduk dan merenung-renung sendiri. Gali kembali sumur ingatan anda sedalam-dalamnya. Sekarang, bagilah kenangan dan ingatan itu dengan malam. Malam yang dahaga.

Alih-alih memunculkan sebuah kontemplasi penting dalam sajak, Inez malah mengajak pembaca berkontemplasi lebih dalam. Bukan sesuatu yang disodorkannya matang-matang, tapi sebuah jalan untuk mencapai titik puncak perenungan. Itulah salah satu fungsi sajak atau puisi. Sebuah sajak mestinya rendah hati. Tidak sok berilmu dan menggurui (atau membodohi) pembacanya. Dengan mengikuti gaya inez bercerita lewat sajak, kita terdorong untuk merenungkan sesuatu melalui jalur yang sudah dibangun. Semuanya, termasuk para pemalas yang apriori.

Tak perlu saya berkoar-koar banyak soal rapihnya struktur fisik sajak ini. Seakan sengaja, semua benda-benda kongkret diletakkan larik per larik pada bait pertama, /1/ galeri, /2/ gending jawa, /3/ kursi-kursi, /4/ halaman, /5/ lampu-lampu. Lantas menumpuk kesan malam yang bersinestesia dengan indera lidah (dahaga) pada bait kedua. Dengan bentuk seperti ini, pembaca benar-benar diberikan jeda untuk setelahnya merenung lagi lebih dalam.

Jelasnya, sajak-sajak inez bukan sebuah pergulatan yang melelahkan, melainkan peristirahatan yang menenangkan. Tak perlu berpikir rumit untuk mencerna sajak-sajaknya. Cukup merenunglah di suasana paling nyaman. Lebih dalam.

(selengkapnya tentang Inez Dikara)

Kamis, 15 November 2007

setelah batas

setelah batas adalah tiada
niscaya tak mungkin mencari sesiapa

pencarianmu adalah perjalanan tanpa henti sia-sia
bahkan perhentian, andaipun ada, tak boleh terlalu lama
karena terlalu lama dan teramat sebentar tak akan
tergurat dalam segala kamus kosakata, semua bahasa

dunia tanpa batas adalah perkara yang lucu
seperti seorang tua berpikiran uzur dan dungu
tapi apakah tua itu, umur tak terpermanai
dan kita tak bakal mati
mungkin masih akan ada makam tanpa jasad mendekam
tanpa apa-apa selain nisan yang terpacak
bertulis epitaf panjang tanpa tanggal kematian
tanggal, bulan, tahun dan berabad-abad
kau didera keabadian menjemukan

tak akan mungkin menghitung jumlah daun pada dahan,
dahan pada pohon, pohon pada hutan
dan berapa liter air disesap hutan dalam sehari
pula bagaimana sehari dalam dunia tanpa batas ini
apakah siang selamanya, ataukah malam tak terhingga
bukankah tanpa batas, dunia menjadi tak sempurna

dan kini, di penginapan ini
tak ada yang kau renungkan selain batas
seperti wajah yang mesti memiliki mata meskipun buta
sebujur laut mesti berbatas walaupun selesa
tiba-tiba kau menangis mengenang sepimu
yang seakan tak punya batas ini
sepi yang kautulis lewat surat-surat tersembunyi
yang perlahan buluk dan luntur
dalam seonggok kotak kayu mahoni

setelah batas adalah tiada
di sini, mustahil menemukannya


makassar, november 07

(sebuah interpretasi bebas dari novel the ocean sea, karya alessandro baricco)

tamu terakhir

baru saja dia tiba dan menurunkan muatan terakhir dari kereta, saat disangkanya sesosok peri bermata biji kenari sedang menunggunya di salah satu balkon dekat jendela. tapi tidak; gadis itu bukan peri, tidak pula menunggunya atau sedang menunggu sesiapa. gadis itu sedang membidik isyarat badai yang datang tersaruk dan bergetar. sambil menghitung kertap bintang yang melompat-lompat di tingkap.

dia lalu membayangkan gadis itu sebagai hantu masa lalu. tapi dia tak tahu masa lalu telah berkerumun di dada gadis itu sejak lama, lantas tersaput sekaligus pada satu waktu. dia tak tahu gadis itu telah menyesapkan banyak ingatan, banyak kenangan dari lelaki-lelaki yang pernah mencumbu dan mencoba melonggarkan jejalin temali korsetnya yang sutera. dia tak tahu gadis itu yang telah meredup-lindapkan lampu rumah dan lampu jalanan di banyak kota. termasuk kota asalnya sendiri, yang dibulai senja terlalu lama.

kali ini, dugaannya tepat. gadis itu sedang berharap bau laut dapat mengobati sakitnya yang larat. setidaknya gadis itu ingin mati tanpa merana. dikubur di tanah masir, antara lapisan karang tak jauh dari kumpulan plankton menyala dan mengambang. tapi sakit macam apa dia tak paham. gadis itu cuma mengingat satu malam ketika jiwanya memilih karam, karam dan tenggelam.

aroma badai makin pekat. tapi gadis itu masih bergeming wajahnya semburat. lelaki dari kota meraba-raba kantong mantelnya yang menyimpan banyak alamat serta secarik peta di mana penginapan ini tak tercatat, terlalu tabu untuk disebut dan diingat. tapi lelaki itu telah berjalan teramat jauh, mencari tempat seperti yang diceritakan kekasihnya lewat surat: "thomasku sayang, di sini, setiap ucapan adalah laut, dan setiap hari adalah kiamat."

makassar, november 07


(sebuah interpretasi bebas dari novel the ocean sea, karya alessandro baricco)

Rabu, 14 November 2007

lelaki itu terlahir dari buncah buih

sebuah pemandangan yang tak dapat kau lihat tiap hari
gelembung buih paling putih dibawa gelombang berlari
melompati karang, pecah pada sebatang pohon ketapang
menetas dari buih, bayi lelaki bermata sebulat ara yang biji

konon, bayi lelaki itu diberi makan oleh tuhan sendiri
lewat tetes demi tetes embun yang dihangatkan matahari
setelah dewasa, belajarlah dia pada ombak, pada api
pada hutan yang menjodohkannya dengan bidadari

soal pertemuannya dengan bidadari, itu kisah lain lagi
jelasnya, anak moyang lelaki buih itu adalah kami
ayah, ibu, aku dan segenap penghuni negeri ini

mungkin benar katamu, segala hal bakal kembali ke muasal
sebuah penjelasan paling masuk akal
soal suara ombak seperti panggilan berseru, "anakku...anakku!"

segala hal bakal kembali ke muasal
dari laut kembali ke laut
dari buih kembali ke buih
sedang kau, ke mana akan kembali?

makassar, november 07

tiga benteng mempercakapkan mimpi

--otanaha

orang-orang dalam mimpiku adalah para pemberang. yang barangkali hanya kenal kata pedang dan perang. "musuh datang! musuh datang!" dari tepi danau mereka menyeberang, siap menyerang bersampankan rakit-rakit sempit. dan dari sini kita akan memanahi sebelum mereka sempat berkelit.

darah terlalu banyak. membuatku tak mampu lagi membedakan bau induk maleo menguruk telur di timbunan debu, dengan bau asin peluh penombak ikan bermata sedingin batu. "musuh datang! musuh datang! tabuhlah genderang pertanda mulai perang."

di tubuhku, lancung-lancung tua sedang menangisi hari-hari yang hampir habis. dan aku dengar derak-derak hutan seperti kertak ketakutan.

--otahiya

sampai sejauh ini, aku masih merindukan kata-kata ajaib itu dari mulutmu. tapi setiap malam, kumimpikan wajah perempuan yang mengutukku jadi batu. nama kita diawali dengan untuk, bukan kutuk. tapi bukankah diciptakan dan dinamai untuk orang lain adalah sebuah kutukan juga?

lawanlah nasib dan kita akan kalah. setiap malam perempuan itu datang menyentuh keningku. menyapaku putri manja. seolah aku gadis remaja yang menghabiskan hari tanpa kerja. hanya tidur, tidur, tidur dan hanya. sesekali melantur tentang haid yang datang tak teratur.

--ulupahu

kuburlah sejarah sebab masa lalu bukan lagi sebuah perkara penting. setidaknya, saat melihat pantulan wajah kalian di wajah danau, bersepakatlah denganku:
umur adalah perihal gaib yang galib.

aku tak duga, putih telur maleo dapat mempertahankan umurku seuzur ini. padahal apalah itu, cuma getah untuk sayap dan paruh dari yang menjelang tubuh. di pipiku, bertebaran ladang gerangan. di keningku, kerak menggambar kenangan. tidak, tidak, aku tidak sedang ingin menjumpai masa lalu. hanya saja, pernahkah terpikir, kenangan itu seperti gadis manis berpipi merah, bergaun juntai diteduhi payung kertas abu-abu, menunggumu di taman yang dilimbur daun-daun kecoklatan, memanggilmu dengan desah-desah liris yang tak akan berhenti sampai simfoni kedelapan.

makassar, november 07

Kamis, 08 November 2007

buqi-buqingale

masih cukup jelas ingatanku pada sebuah tahun tak tercatat, di tepi telaga tak bernama, aku menemukanmu tergugu sembari mendekap sepasang payudara yang menyembul ragu-ragu. seketika birahiku menyala. senyala pendaran dari kulitmu yang kuning purnama.

kita saling bertukar tatapan ganjil sementara tubuhmu masih telanjang disesah udara dingin yang batil. aku coba menawarkan selimut yang kujalin dari dedaunan sulur, namun kau tampik seraya memintaku mundur, tak seinci pun mendekat. mengotorimu dengan jelagaku yang kodrat.

masih cukup jelas ingatanku pada sebuah malam tatkala kau menyisakan rasa panas Lewat ketakutanmu yang angkuh. dan kau mulai mendongeng tentang manusia-manusia yang bertemu makhluk langit, sama sepertiku menemukanmu. mereka membual tentang kudusnya pernikahan bumi dan rembulan

kau ceritakan padaku kebenaran langit; tak ada anak-anak berkejaran membuat jejak hingga jadilah bintang, tak ada perempuan menangis mencipta rinai sampai turunlah hujan, dan tak ada lelaki berbahu kekar memanggul cakra buat memutar hari.

maka kutinggalkan kau bersama sayapmu, tubuhmu yang terlalu suci buat lusuh dibasuh lumpur bumi yang dina. kutinggalkan sembari menyusun cerita buat anak keturunanku agar berbangga dengan raga yang mengalirkan darah dewa-dewa.

dan setelah bertahun-tahun, ingatanku masih juga teramat jelas. sejelas sinar pucat yang menggiringmu turun tiap purnama keduabelas. itulah ziarahmu ke tubuhku yang batu. mengecup bagian yang mungkin kau sangka bibir, mungkin keningku.


Makassar, 25 Agustus 2007

(sajak lama, aku posting kembali dengan sedikit perubahan agar lebih semangat membuat sajak tentang gorontalo lagi)

Rabu, 07 November 2007

pintu dan sebotol minyak obat

: citra dewi lasantu, ibuku

dari pintu itu,
kau selalu mengetuk sebelum masuk
selalu, setelah ayah menyebatku
dengan ikat pinggangnya yang berat
dan amarahnya yang berlarat-larat

di tanganmu sebotol minyak obat pekat
untuk kulitku yang lecet nyaris cacat

"tidurlah," ujarmu
"dalam tidur kau tak akan mungkin menangis"

ah, ibu
sampai kini pun aku jarang menangis
kecuali ketika ingat
kau pernah datang dari pintu itu untuk
membawakanku sebotol minyak obat pekat

makassar, november 07

hujan itu datang sambil menangis

:MAM

duduk di sini adalah sebuah pengalaman teramat puitis
bukan karena hujan itu datang sambil menangis
tetapi karena dua sebab berikut ini,

sebab pertama: malam yang kemarin seperti mata polantas
kebingungan melihat jalanan macet total
saat ini seperti jari-jemari perempuan cantik berwajah nakal

sebab kedua: dinding-dinding menyanyikan lagu-lagu jepang
nyanyian kanak-kanak yang riang
melodis, sesekali melodramatis

adapun hujan yang datang sambil menangis itu
datang mencarimu sehabis membuat kolam di halaman

"langsung saja," kataku
"naiklah ke lantai dua. sebelah kiri, di kamar paling kiri.
mungkin dia sedang menulis surat cinta terakhir
sekaligus puisi perpisahan untukmu."

"separah itukah?" tanyanya
aku jawab dengan sebuah barangkali

dan seperti kau tahu, dia tak ke lantai dua menemuimu
menyangka aku seorang penyimak cerita yang baik,
diceritakannya banyak hal tentangmu
cukup banyak sampai aku lupa seperti apa detilnya
kecuali kalimat tak puitis menggelikan seperti ini:
"dia cinta pertamaku, sekaligus terakhir."
(aduh, hujan kekasihmu ini masih remaja rupanya)

pengalaman ini sungguh puitis. lebih puitis tatkala
dia pamit pulang sesudah kuakhiri ceritanya dengan:
"baiklah, nanti akan kusampaikan padanya," sambil
menyesali waktuku yang terbuang percuma
(30 menit untuk mendengarkannya bercerita,
50 menit untuk mendengarnya menangis)
sudahlah, barangkali dia memang butuh itu

"kau tak mau menemuinya?"

"entahlah, lebih baik kutunggu saja puisinya besok pagi."

kau tahu, tanpa hujan yang datang sambil menangis
pengalaman duduk di sini bagiku mungkin akan sangat-sangat puitis
tak kusebut romantis karena pasti kau berkata tak suka
sambil tersenyum sinis dan meringis

makassar, november 07

Selasa, 06 November 2007

seseorang telah mengisi bangku itu

bangku taman itu
tempat mestinya aku duduk tiap sabtu
seseorang telah mengisinya lebih dulu
duduk, tepatnya meringkuk
menyapaku dengan nama yang salah
dan suara gemetar.

"dingin," desisnya
"tempat ini ditutup selama tiga hari
tapi itu tak mencegahku mendengarkan
cemplung hujan di kolam taman ini."

wajahnya terlalu keras, suaranya teramat getas
kuping tanpa tindik, lengan penuh bulu
membuatku ragu mesti memanggilnya
bapak ataukah ibu

dia terlalu banyak bertanya ternyata
"kuliah di mana, kerja di mana
maaf, maksudku kuliah ataukah kerja,
di mana, tinggal di mana, asal dari mana
wah, kita selorong rupanya."

semoga dia tak bertanya, aku homo, bukan
atau, berapa besar ukuran...

merepet di antara hujan yang merintik satu-satu
sol tebal tumit sendal dan cara duduk
seperti perempuan yang tak pandai menipu
puji tuhan, dia seorang ibu

kepadanya, kota ini mengajarkan hidup
makanan harus sampai paling pagi
mangkok dan piring telah tercuci
sebelum pengunjung pertama memesan bakmi

cuci piring lagi, cuci piring lagi
kios sendiri baru buka malam hari
memunguti bola di lapangan tenis karebosi
sesekali, hanya saat ramai kompetisi

tak ada yang akan meninggalkanmu sendiri
kecuali bila kau pelukis sepi
penulis puisi

"kau tahu, apa alasan mereka menutup tempat ini?"
dia mestinya paham, seseorang tak perlu jadi mahatahu

"mereka takut, kita belajar berontak
pada hujan yang congkak."

makassar, november 07

Sabtu, 03 November 2007

mencoba menerjemahkan sajak Tagore

SIR RABINDRANATH TAGORE, barangkali, sebab gemar membaca esai-esai Goenawan Mohammad, aku menjadi suka pada penyair kelahiran Calcutta, India ini. Pasalnya, GM teramat kerap menyitir sajak-sajak Tagore, tentu saja dengan kemampuan GM mengindonesiakan sajak asing yang sempurna, sehingga sajak-sajak itu tak berkurang gaungnya ketimbang bahasa aslinya yang Bengali.

Dilahirkan di sebuah keluarga kasta brahma yang mulia, Tagore berkembang menjadi seniman yang senang memadukan kebudayaan barat dan India. sehingga tak heran, dia disebut-sebut sebagai pelopor gerakan Renaissans Bengali. Dan tak heran pula, hadiah nobel sastra tahun 1913 jatuh ke tangannya. Reputasinya dikenal luas sebab sajak-sajak dan novel-novelnya yang mistis. Selengkapnya tentang Tagore, bacalah di sini

metode penerjemahan

Ini adalah kali kedua aku menerjemahkan sajak asing setelah dua bulan lalu sajak Pablo Neruda. Tentunya dengan metode yang tak jauh berbeda. Aku harap kegiatan menerjemahkan ini dapat kurutinkan. Mengingat dalam sebuah buku yang hampir terbit, aku pernah membaca, salah satu latihan yang baik dalam menulis sajak adalah dengan menerjemahkan sajak asing.

Sejenak lupakan dulu soal stigma yang menyebut para penerjemah karya sastra asing adalah orang-orang kelas dua, sembari berusaha menajamkan diksi dan memperkaya pengetahuan tentang struktur puisi. Kalimat di sini dengan di buku itu memang tak sama persis, tapi paling tidak, seperti itulah intisari yang dapat kutangkap darinya (ada apa? merasa kenal dengan buku itu?).

Sekali lagi ini cuma coba-coba.

maka beginilah hasil terjemahan itu:

*Negeri Dongeng*

andai banyak yang datang dan ingin tahu di mana istana rajaku berada, tersesaplah dia di udara
tembok-temboknya adalah perak putih bersinar dan atap-atapnya emas berpendar
baginda ratu tinggal di istana berpagar tujuh taman, mengenakan permata disepuh kekayaan dari tujuh kekaisaran
namun biar kucerita padamu, bunda, dalam sebuah bisikan, di mana tempat istana rajaku berada;
pada sepetak sudut rumah kita, tepat di sepokok tulsi merimbun dalam pot
yang mulia puteri, tidur terkelampai jauh di tepian tujuh lautan tak tergapai
tak seisi semesta pun mampu menemukannya kecuali daku
gelang-gelang menggelung lengannya, bebutir mutiara menjuntai kupingnya; lelampai rambut membelai lantainya
akan terjaga dia saat tersentuh oleh tongkatku yang tuah, dan senyumnya rontokkan bebutir permata dari bibirnya
namun biar kubisikkan padamu, bunda; dia ada tepat di sepetak sudut rumah kita, tepat di sepokok tulsi merimbun dalam pot
ketika sampai saatmu membasuh tubuh di alir sungai, mendakilah ke atap petak itu
daku duduk menyudut saat bayang tembok berjejalin dengan bayang tembok yang lain
cukup kucing yang kuizinkan menyudut bersamaku, agar dia tahu di mana tinggal ahli cukur dalam kisah ini
tapi bunda, biar kuberbisik di telingamu, di mana tinggal ahli cukur itu; tepat
pada sepetak sudut rumah kita, tepat di sepokok tulsi merimbun dalam pot

dan beginilah versi inggrisnya:

*Fairyland*

If people came to know where my king's palace is, it would vanish
into the air.
The walls are of white silver and the roof of shining gold.
The queen lives in a palace with seven courtyards, and she
wears a jewel that cost all the wealth of seven kingdoms.
But let me tell you, mother, in a whisper, where my king's
palace is.
It is at the corner of our terrace where the pot of the tulsi
plant stands.
The princess lies sleeping on the far-away shore of the seven
impassable seas.
There is none in the world who can find her but myself.
She has bracelets on her arms and pearl drops in her ears; her
hair sweeps down upon the floor.
She will wake when I touch her with my magic wand and jewels
will fall from her lips when she smiles.
But let me whisper in your ear, mother; she is there in the
corner of our terrace where the pot of the tulsi plant stands.
When it is time for you to go to the river for your bath, step
up to that terrace on the roof.
I sit in the corner where the shadow of the walls meet
together.
Only puss is allowed to come with me, for she know where the
barber in the story lives.
But let me whisper, mother, in your ear where the barber in
the story lives.
It is at the corner of the terrace where the pot of the tulsi
plant stands.

catatan: Untuk kata puss, aku kesulitan menemukan padanannya. Maka dengan sembarangan kupakai saja kata kucing. Yang mau koreksi silahkan.

pagi rasa coklat

suatu hal yang perlu kau tahu
hari ini, dengan senang hati
telah aku terima seamplop pagi
yang kau kirimkan untukku

pagi berasa coklat yang pemalu
lewat seorang kurir yang senyumannya
persis senyuman tokoh kartun idolaku
katanya, dia akan mengutuk diri sendiri
andai tak datang tepat waktu

"selamat menikmati, semoga kau
tak lagi marah padaku,"begitu pesan
tertulis di bagian sisi amplop sebelah kiri
tulisan yang mengingatkanku pada
sejenis sulur-suluran yang sepanjang
tahun hanya berbunga dua kali

"mengapa," desisku setelah membuka
amplop dan mendapati pagi itu mulai mencair
"apa pabrik embun telah bangkrut
sampai nonamu susah-susah membuatkanku
sekeping pagi dengan rerumputan
berwarna kenangan dan daun-daunnya
yang berbau kesedihan."

sambil tersenyum, menjawablah kurir itu:
"nonaku paham, untuk merampungkan
mimpi yang terlambat dimulai,
kau korbankan begitu banyak pagi
yang mestinya manis buat dinikmati."

"ah, tapi ada yang dia tak tahu,
aku dan coklat tak pernah bisa
berteman di waktu sarapan," ujarku.
"jadi katakan pada nonamu,
kali lain, kirimkan saja sebuah pagi
berasa susu atau beraroma kopi
bersama foto senyumnya yang pelangi."

"baik," jawabnya, "ada pesan lain."

"katakan saja, aku tak marah lagi."

makassar, november 07

ju panggola

: si pemanggil air

/1/

keriap udara yang membakar ubun-ubun itu mengingatkanmu pada suatu tempat di mana panas dan beku nyaris menyatu. kau jumpai seorang muda sedang menyesah adiknya. bocah kecil yang terus merengek dan merengek. saat itu, para tukang teluh belum turun dari puncak tilongkabila.

"apa yang kau minta pada pasir," tanyamu. "lapang ini teramat kosong. tinggal rerumputan yang kemarin masih terhampar dan hari ini sedang terbakar."

pemuda itu tak menjawab. hanya leleh airmatanya menggenapi pertanyaanmu dengan bayangan tentang duka yatim-piatu. "dari tanah sendiri kami terusir, dan yang menjawab kami hanyalah pasir."

dan sembari berharap tuhan belum pergi, kau menyeluk kantong jubah lusuhmu. mengeluarkan sepotong ranting kering lantas menghujamkannya ke atas tanah yang lereng dan miring. potongan ranting hadiah dari seekor induk murai setelah kau menyelamatkan sarangnya.

dari lubang bekas hujaman itu, memancur air yang berkeloceh seperti oceh bayi-bayi murai kelaparan. "berhentilah menangis dan tak perlu mendidihkan air," pesanmu. "karena air ini jauh lebih hangat daripada airmatamu."

/2/

"berhentilah dulu," ujarmu seraya mengusap punggung lembu itu. "berhenti dan tinggal sebentar di tempat ini. aku akan mencari buah-buahan hutan paling segar. paling manis. buat makan kita.

"berhenti dan biarkan iring-iringan semut itu lewat. mereka tak kenal kau, tak kenal aku, pula tak kenal perjalanan kita. yang mereka kenal adalah sang ratu yang mesti diberi makan, dan bayi-bayinya yang malang.

"berhentilah di sepotong perjalanan yang hampir tanpa tujuan ini. kudengar, di dusun seberang, wabah kusta menyerang. dan sumur yang bertahun-tahun tak kesiur. semoga dalam sekali lenguhan, kau mampu memanggil kelopak mata air yang terkatup itu, agar kembali membuka. dan dengan airnya aku akan membasuh muka-muka yang luka.

"jadi tinggallah supaya aku dapat membawakanmu buah-buahan hutan paling ranum. paling bernas. agar kakimu tetap kukuh di perjalanan ini, dan lidahmu dapat melenguh di dusun nanti. biarkan iring-iringan semut itu lewat. karena mereka tak kenal kau, tak kenal aku, tak kenal perjalanan bahkan tujuan kita. yang mereka kenal, mungkin, adalah hidup yang telah ditakdirkan tanpa cinta."

/3/

anak-anak senja baru saja melukis layung, saat kau tiba di bukit itu. menemukan sebuah liang yang kelamnya lebih kelam dari campuran dawat dan malam.

miris. isi liang itu kau tatap tiada. dengan tatapan seorang pelupa tatkala menemukan kenangannya terkubur di bawah tumpukan kotoran yang terbuat dari gulungan mimpi buruk.

"mengapa tiap sumur yang kutemui selalu saja tanpa air," dengusmu sambil masih percaya tuhan belum mangkir. "air...air, bila kau ingin berguna, biarkan tubuhmu memberi minum para musafir."

dan air itu menyahut panggilanmu. membuncah seperti cermin lebar yang terus melebar. sampai di bibir liang, menyapa seorang tua yang menyanyikan melankolia untuknya. "ah, betapa lezat dirimu. jadilah lebih mulia dengan memberi minum hutan dan isinya."

lembumu tak pergi ke mana. satu kali, dia kitari bukit ini. dan air mengikuti tilas-tilas kakinya, seperti anak kecil mengejar punggung bapaknya yang bakal pergi berperang, yang setelah bertahun-tahun mungkin tak akan pulang.

senyummu lebar dan terus melebar, saat perjalanan air berhenti di titik mula. nanti, besok pagi, akan kau temukan pantulan matahari di sekeliling bukit yang telah berisi danau itu.

/4/

padaku, kau mengaku, tak sedang menunggu seseorang ataupun sesuatu. tapi nyatanya banyak yang datang dari utara. bersimpuh di kakimu yang terkelampai menghadap selatan. kau tak sedang menunggu seseorang, tapi nyatanya, banyak yang menangis di nisanmu dan membuat mukim di atas makammu.

mereka datang meminta sesuatu yang lebih abadi dari ladang-ladang gembur tempat tumbuh sayur-mayur subur.

lantas akan kau beri apa pada mereka. sementara kau hanya seorang pemanggil air yang fakir. bahkan, saat kau seharusnya sedang bersenda-gurau dengan tuhan, airmata masih merambati helai-helai benang di jubah lusuhmu. ah, airmata. kepadanya kau tak pernah suka sekaligus tak pernah lupa.

makassar, november 07


Kamis, 01 November 2007

saronde

: sebuah tarian

sampai langkah keduapuluh satu, aku harus tetap menggenggam belati di pinggangku. seolah untuk mengingatkan, jalan di depan masih banyak berbatu. menunggumu membawakan selendang sepasang; satu untukmu, satu untukku.

sampai langkah keduapuluh enam, selendang itu harus mengitari wajahmu tiga kali. seperti seorang ibu india yang mengasapi muka anaknya dengan dupa berbau restu tiap pagi. mengapa harus tiga. bukan dua seperti jumlah anak yang kau janjikan untukku. atau delapan seperti banyak tiang rumah yang ingin aku buatkan untukmu.

sampai langkah ketigapuluh dua, aku harus menahanmu untuk tetap bersamaku dalam satu lingkaran. menyamarkan jarak antara tubuhku yang tinggi semampai dan tubuhmu yang rendah rembunai. dan sebelum kau pergi, aku ingin memuji bajumu yang kuning kemuning. yang terlihat makin melorot sebab lupa kau kancing.

makassar, november 07