Senin, 28 Januari 2008

Mencoba Menerjemahkan Sajak Robert Frost


ROBERT LEE FROST, menerjemahkan sajaknya benar-benar sebuah pekerjaan yang menyenangkan walau tak mudah. Mungkin, ketakmudahan itu sendiri yang merupakan bagian paling menyenangkan.

Sayang saya cuma berhasil menerjemahkan satu. Maklum, Frost terkenal akan imajisme dengan metaforanya yang berlapis-lapis (salah satu gaya yang kerap saya tiru). Apalagi sajak-sajak Frost adalah sajak-sajak dari bahasa ibu, bukan terjemahan dari bahasa lain ke bahasa Inggris sehingga baik struktur, kaidah ucapan maupun relasi makna benar-benar harus melakukan adaptasi panjang dengan bahasa tujuannya (Indonesia). Sesuatu yang hampir musykil dilakukan sebuah sajak imajisme. Jadi saran saya jangan baca terjemahannya, bacalah dalam bahasa asli.

sedikit banyak soal Robert Frost silahkan klik di sini. Adapun sajak-sajaknya dapat anda temukan di sini.

dan beginilah hasil terjemahan itu:

Seekor Burung Mungil

Pernah aku berharap seekor burung terbang menjauh,
Dan tak lagi bernyanyi sepanjang hari di depan rumahku;

Kukibaskan tangan menghalaunya lewat pintu
Ketika aku seolah tak ingin lagi diganggu.

Sepertinya ada yang salah denganku.
Si burung mungil tak tercela buktinya.

Dan tentu ada sesuatu yang janggal
Dalam keinginan mengheningkan nyanyian apa saja.

aslinya seperti ini:

A Minor Bird

I have wished a bird would fly away,
And not sing by my house all day;

Have clapped my hands at him from the door
When it seemed as if I could bear no more.

The fault must partly have been in me.
The bird was not to blame for his key.

And of course there must be something wrong
In wanting to silence any song.

Sabtu, 19 Januari 2008

Riwayat Suara Perempuan

Pernah kau bertanya; bagaimana perempuan mendapatkan suara lembutnya?

Tatkala Adam tengah berupaya keras mempelajari banyak nama-nama benda yang baginya asing dan baru, Hawa belum lama tercipta; lemah dan bisu. Sebab Tuhan merasa perlu menunda mencipta suara untuknya. Dan Tuhan memberi kesempatan Adam menentukan sendiri bentuk suara seperti apa yang layak diletakkan dalam serat-serat halus di tenggorokan bakal kekasihnya itu. Maka Adam pun meninggalkan pelajaran buat mencari suara-suara. Dan setelah beberapa kali mengelilingi taman surga, didapatinya nada-nada paling indah dalam kicau burung-burung murai, desir-desir air sungai, dan gemerisik dedaunan pohon cempaka yang rimbun-permai. Namun dia tak dapat memilih salah satu.

Tapi Tuhan sungguh bijak tak membiarkan Adam bingung terlampau lama. Dan Dia pun terlalu bijak untuk tak memilih salah satu. Dengan kelembutan mahaguru pelukis saat memadu-madankan warna-warni ajaib cat minyak, dibaurkan-Nya segala suara yang ditemui Adam, sehingga tercipta sebentuk suara baru buat makhluk-Nya yang paling baru. Dan, tak seperti cerita banyak orang, Adam sendirilah yang kemudian meletakkan suara baru itu di rongga tenggorokan Hawa. Dan Hawa membalas kebaikan itu dengan menyebut nama Adam sebagai kata yang diucapkannya kali pertama.

Tentu tak perlu lagi aku menjelaskan kicau apa yang tiap pagi membangunkan dan mengingatkanmu pada sarapan yang sudah siap santap. Pula tak perlu menjelaskan kiranya desir-desir apa yang meluluhkan pongah-angkuhmu itu, seperti luluhnya cadas bebatu setelah terkikis air sungai sekian waktu. Atau, masih perlukah sebuah penjelasan perihal gemerisik gaib yang selalu menarikmu ke dalam pelukannya; yang teduh dan seakan berbau cempaka itu?

Kamis, 17 Januari 2008

Penghujung Musim Hujan (4)

Bagaimana kau perlakukan aku mestinya. Hujan nyaris habis dan aku hampir kering. Namun huruf-huruf dan kata-kata di tubuhku terlanjur luntur, lamur, sukar terbaca. Andai aku dapat membaca, mampu berkata-kata dan paham alasan seseorang menangis atau tertawa setelah menelusur tubuhku seksama sekian lama, barangkali akan mudah bagimu memutuskan adakah cukup tempat yang hangat buatku di laci lemari tempat berlusin surat cinta darinya kau simpan. Atau kau akan pilih mengoyak, menyobek, dan membakar tubuhku saja. Apakah aku adalah surat cintanya seperti yang sudah-sudah, atau sekadar cara mencapakkanmu paling mudah. Aku terlalu lama meringkuk dalam kotak surat bocor. Sebagian huruf dan kata terlarut dalam hujan, terbawa arus selokan, menyatu sungai sebagian; lainnya diserap tanah, batu dan akar pepohonan. Kelak mungkin mereka bermuara kembali di lautan, menguap dan luruh jadi hujan musim depan. Barangkali kau mesti mengumpulkan setiap huruf, setiap kata dalam hujan itu lalu menyusunnya. Agar kau tahu pesan apa yang ingin disampaikannya dan bagaimana kau perlakukan aku mestinya.

Sabtu, 12 Januari 2008

Penghujung Musim Hujan (3)

Mereka berlarian di sekitarmu. Anak-anak yang kemudian mengguncang-guncang tubuhmu agar buah-buah yang baru berkecambah itu tumpah dari ranting-rantingmu. Namun hanya sisa-sisa hujan yang semula menempel di daun-daunmu itu yang jatuh luruh menimpa kepala-kepala mereka. Dan mereka tertawa. Kau ingin ikut tertawa tapi kau tahan. Sebab tawa sebatang pohon dapat membuat anak-anak ketakutan. Maka kau biarkan mereka kembali berlarian di sekitarmu. Sampai salah satu di antara mereka ingin memanjatmu. Tapi kau membisikkannya semacam isyarat larangan. Sebab batangmu masih licin, basah dan berlumut. Kau khawatir dia akan jatuh dan sakit. Walau tak ada yang lebih sakit dari sakit akar-akarmu saat terinjak kaki-kaki mereka, dahan-dahanmu ketika dipatahkan tangan-tangan mereka dan sekujur kulitmu yang penuh toreh nama-nama mereka dan nama gadis-gadis yang mereka idam diam-diam. Kau ingin meringis tapi kau tahan. Sebab seringai sebatang pohon dapat membuat anak-anak ketakutan.

Kamis, 10 Januari 2008

Penghujung Musim Hujan (2)

Tak perlu kau khawatirkan seseorang yang mengirim mimpi lewat pesan singkat itu. Mimpi di mana kau menjadi nuh yang mesti membangun bahtera dari ratusan kubik kayu pohon gifar untuk menyelamatkan berpasang-pasang hewan dan manusia dari banjir besar yang kelak menenggelamkan dunia dan menjadikannya lautan. Senyatanya banjir cuma setinggi mata kaki. Bahkan kucingmu tak bakal tenggelam andai ia mampu sembunyi di atas lemari.

Penghujung Musim Hujan (1)

Seseorang mesti meminta lelaki itu berhenti berdiri di beranda. Berhenti tercenung seperti tamu di rumah tuan tak berkenan. Berhenti menengadah tangan mengharap jemarinya dibasahi hujan. Karena musim hujan telah habis dan langit telah lupa bahasa elok-cantik yang fasih mereka ucap untuk mempercakapkan kota, cuaca, dan politik. Katakan padanya untuk berhenti menunggu, berhenti merindu. Sebab musim cinta telah habis dan sepasang manusia tak perlu berkata-kata untuk memahami mengapa mereka bisa saling jatuh cinta tiba-tiba.

Senin, 07 Januari 2008

Aku; penghutang yang bangkrut

Aku berhutang pada baju kotor di sudut kamar
Separuh busuk, ditumbuhi buluk dan lumut
Andai punya mulut, mereka tentu bikin ribut
Mengeluh dengan aduh paling gaduh
Tuan, baju kotor itu ibarat lelaki patah hati
Cinta pergi sebagai keringat menguap
Meninggalkan sedikit daki
Tuan, kenangan itu seperti noda bekas kopi
Sukar hilang jika tak dicuci berulang kali.

Aku berhutang pada lembar-lembar buku harian
Yang kosong tanpa puisi atau satupun catatan ingatan
Seseorang meninggalkan untukku secarik kartu pos
Bergambar pantai sebuah negeri yang belum pernah aku kunjungi:
Kepada seorang pelupa, tulisnya,
kukirimkan sebuah hari tanpa peristiwa istimewa
Beserta mimpi yang seketika lindap saat membuka mata
Tuan, hidup tanpa ingatan barangkali adalah semacam kutukan
Tapi lupa dengan mudah sungguh sebuah keberuntungan
Maafkan aku jika tak sempat menyapamu di suatu siang

Aku berhutang pada kulit kepala yang lama tak dibasuh
Ketombe tumbuh, seperti anak-anak lokan di rambut lusuh
Bergulir seumpama salju pertama malam natal kesekian
Memucatkan bahu sampai lengan, sebentuk landai bebukitan
Tuan, hidup itu seperti hadiah natal
Bungkus kado boleh merah, biru, ungu atau merah jambu
Kertas warna apa pun kau suka, tapi isinya tetap saja rahasia
Dan bila ingin menyingkapnya
Mesti kau sobek dulu itu kertas warni-warna

Aku berhutang pada sepasang sandal yang setia di teras depan
Mereka memanggil-manggil namaku sejenak selepas hujan
Merengek minta diajak jalan-jalan dan mandi kubangan di cerukan
Sandalku malang tak tahu, saat-saat seperti ini tanah menjadi penipu
Senang memerosokkan tungkai-tungkai yang lengah dan lugu
Tuan, pada sepasang sandal ada kesetiaan
Kecuali untuk melempar kucing, sebelah sandal bakal dilupakan
Tuan, pada sepasang sandal ada pengabdian
Tak pernah menolak kaki, walau berkutu dan panuan
Seperti budak, teman sandal cuma kotoran

Aku berhutang. Penghutang paling bangkrut
Pada genteng yang retak dan rumpang berlubang
Setiap lewat angin kencang terdengar siulan panjang
Suara malaikat sedang tegang, terbang tak tenang
Menunggu saat tepat menjemput nyawaku pulang
Air hujan merembes dan jatuh di loyang kuningan
Seperti detak jantung terhukum menuju tiang gantungan
Tuan, tahukah mengapa orang-orang gemar menabur bunga,
Menyalakan dupa dan membakar banyak kemenyan di makam
Sebab seperti hujan hari pertama, kematian berbau teramat tajam
Perlu menyamarkan bau itu agar tak jadi hantu menjelang malam

Makassar, Januari 2008