Selasa, 02 Desember 2008

Gadis Flu

Dia berkata, "Lurus saja

Terus di bagian utara gedung itu. Seorang gadis termangu, susah payah menghela nafasnya yang dibebani flu. Geliginya berwarna gading, matanya abu-abu, sesekali menatap ujung jalan seolah menunggu sesuatu."

Jawabku, "Ah, tiada siapa pun

Kecuali pohon-pohon yang menjaga jarak, tumbuh satu-satu, sementara dedaunan bundar kecilnya menghambur serupa serpih konfeti tahun baru. Mungkin bulan telah mengaburkan matamu. Di musim hujan seperti ini, bayangan bulan kadang serupa benar dengan bidadari yang menyepi dan menunggu."

Lalu dia menyanggah, "Tidak, lihatlah secermatnya

"Gadis itu membaca sebuah buku. Paling banyak dua halaman saja, sebab tak pernah aku melihatnya membuka halaman baru. Setiap kata seolah butuh dicernanya berjam-jam. Halaman buku, ujung jalan itu, halaman buku, ujung jalan itu, ujung jalan yang lain, lalu kembali ke halaman buku itu. Seolah-olah dia sedang menunggu sesuatu."

"Tak ada siapa-siapa," Tukasku,

"Kecuali bebangku pejal berjejal kesepian, semak dan ranting-ranting berjatuhan..."

"Sekarang lihatlah," sergahnya,

"Gadis itu menutup buku. Telunjuk tangan kanannya menyentuh kancing baju. Datang. Lalu meloncat ke kancing bajunya yang lain. Tak datang. Datang, tak datang, datang, tak datang. apakah kau yakin akan membiarkannya terus menunggu?"

Makassar, Desember 2008

Selasa, 18 November 2008

Tirai

ANAK-ANAK adalah tirai yang tertiup angin.
Tirai adalah anak-anak yang terbantun angan.

Sore ini hujan. Hujan yang mulanya perlahan.
Tirai menyapa hujan lewat jendela,"apa kabar, hujan?"

"Baik-baik, tirai. Yuk, main," ajak hujan.
Tirai menggelengkan kepala.

Hujan adalah anak-anak yang bermain dan merdeka.
Tirai adalah anak-anak yang mengintip iri dari jendela.

"Ingat ya, tirai, jangan bermain dengan hujan.
Hujan itu kotor, jorok, nakal, sumber penyakit dan
malapetaka," gumam tirai pada dirinya sendiri.

Di luar jendela hujan bermain gundu dan sepakbola.
Di dalam kamar tirai bergelut rumus matematika.

"Yuk, main." ajak hujan sekali lagi,
tapi tirai tetap menggelengkan kepala.

"Ingat ya, tirai, banyak main itu kerjanya gelandangan.
Seperti hujan. Gelandangan itu tempatnya di jalan,
bukan rumah-rumah mewah atau gedung kantoran."

Di luar jendela kaki-kaki hujan menjadi cokelat
selepas berkejaran di atas rumput dan berenang di selokan.

Hujan adalah kegembiraan yang tergenang di jalanan,
sedang tirai adalah kesepian yang duduk di sofa
--sambil bercakap pada televisi yang bisa bicara
tapi tak sekali pun pernah menyahutnya.

"Ingat ya, tirai, dunia di luar jendela itu berbahaya.
Banyak kecelakaan, perampokan, pembunuhan,
perkosaan, penculikan..."

Tirai adalah anak-anak televisi
dan televisi adalah anak-anak yang berlagak dewasa.

Makassar, November 08

Minggu, 16 November 2008

Botol

"AKU telah jatuh cinta pada setiap nafas dan batukmu,"
lirih botol obat batuk itu terbata-bata
tapi sang tahanan tak sedikit pun menghiraukannya.

Di sudut penjara, tahanan itu bersunyi saja
menjaga kapal mimpinya yang kunjung surut
digempur lautan batuk yang mengamuk.

Dua jam lepas tengah malam
pada akhirnya tahanan itu menyerah juga
botol itu direnggutnya tergesa, dicekiknya paksa.

"Persetan kapal mimpi. Persetan penjara ini!"
Raungnya sebelum menyesap kasar
cairan getir lewat bibir botol yang gemetar

"Cintai aku sewajarnya. Sewajarnya!"
Rintih botol obat batuk itu terengah-engah
tapi sang tahanan tak sedikit pun menghiraukannya.

Makassar, November 2008

Senin, 27 Oktober 2008

Kaleng

SETELAH secuil mentega penghabisan meninggalkannya,
kaleng itu kemudian menyepi dan menjadi pertapa.
"Kosong adalah isi, isi adalah tiada," ucapnya
dalam bahasa kaleng menirukan Budha.

"Kaleng mentega bukanlah mentega
kaleng bersayap bukanlah kecoa
dan kecoa yang terbuat dari logam
tak bisa menjadi genta di menara gereja."

Kaleng yang tak bergizi tapi saleh itu
telah menjadi lebih pertapa dan bijaksana.
Sementara, di salah satu sudut dinding,
seekor kecoa sedang mencibir si kaleng
sambil memamerkan sayapnya.

Makassar, Oktober 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Rambut

KOTA sedang terpanggang
saat aku berteduh di bawah matamu yang rindang
dan seluruh lekuk liku sungai-sungai
yang membelah rambutku memasrahkan diri
pada telapak tanganmu yang lapang.

“Rambut kakak keriting rupanya,”
ucapmu sambil mengusap ubun-ubunku.
“Persis semak-semak di halaman belakang rumah saya.
Persis jelatang berduri yang pernah melukai kaki saya
entah dari mana datangnya.
Seingat saya mereka mulai tumbuh selang sehari
setelah saya menguburkan bangkai si belang,
kucing kesayangan saya, tepat di tempat yang sama.
Setelah itu mereka menjadi raja-raja
yang berebut wilayah untuk dijajah.
Kakak, adakah seekor kucing belang sedang terkubur
di akar-akar rambut ini?”

Aku menarik nafas panjang
sementara di luar matahari semakin garang.
Sungai-sungai mengering dan kota ini perlahan mengerang.
Tapi tak lama, mendung pun menggantung.
Ah, tak ada yang lebih fana dari hidup dan cuaca yang tanggung

“Rambutmu juga adik,” jawabku “juga tak kalah keritingnya.
Seperti gelombang lingsir di landai pantai
yang kadang tenang kadang meradang.
Aku pernah menjumpai pantai semacam itu,
yang kata penduduk sekitar
dihuni dewi berambut ular
yang senang menghadang nelayan
lalu mengutuknya jadi karang.
Dan kata penduduk pula
dewi itu sedang menunggu kekasihnya
yang tak pernah pulang.
Katakan padaku adik, di pangkal helai-helai rambutmu,
adakah seorang dewi sedang menunggu?"

Senja pun mampir semakin hampir,
sebagian tubuhnya yang menolak pudar
menerobos ventilasi udara
lantas bermain-main di ujung rambut-rambut kita.
Ah, rasanya tak ada yang lebih kekanakkan ketimbang waktu
dan sepasang kekasih yang bermain rindu.

Matamu seperti jendela
tempat seorang dewi berambut ular
mengintip seekor kucing belang
yang sedang mencakar pohon besar di mataku
Dan kita terdiam lama sekali,
sebelum akhirnya kita saling menyeberangi
rambut satu sama lain.

Makassar, Oktober 2008

Jumat, 03 Oktober 2008

Kartupos dari Makassar

ALAMATKAN kartuposmu itu kepadaku saja
di sini, di Makassar.

kota ini perlahan tenggelam di bibir gadis-gadis
berwajah muram
sebentar nadinya berdegub, sebentar kemudian
lemah dan sayup
tak ubahnya kura-kura yang tertatih-tatih
memanggul beban bertumpuk-tumpuk.

Tuliskan namanya dengan jelas dan benar, Makassar
tembok-tembok tumbuh teramat rapat dan tiba-tiba
sementara luka perang saudara bertahun-tahun
masih lebar menganga.

Sungai Tello dapat kau pakai bercermin
Karebosi barangkali tak akan pernah mengering
jalanan dilebarkan, dibelah
dan disusun di puncak topang tinggi
tentu kau tahu di sudut mana aku kerap menulis puisi.

Di Makassar, kartuposmu tak akan tersasar, percayalah
sebab masih ada orang-orang berwajah ramah
harga senyum murah, walau harga sembako
mahal dan menggila seperti kuda terbakar buntutnya.

Benar di sini banyak pencopet, maling,
penodong, preman pasar dan mahasiswa
namun kabar gembiranya, di kota ini masih
ada penyair seperti aku
dan pengemis telah dilarang meminta-minta.

Kelak, setelah kartuposmu tiba
segera akan kukirim balasan
sehelai kartupos juga, bergambar
wajah makassar yang penuh liku garis usia.

Makassar, Oktober 08

Seseorang Mestinya Telah Tertidur

DALAM ketenteraman kata-kata
seseorang mestinya telah tertidur malam ini
tapi bukan aku, Gadis.

Kata-kata, sebaliknya,
menggambar wajahmu di langit-langit kamar
bulu-bulu matamu serupa berayun dan hidup
diterpa kipas angin listrik yang berputar.

Juga kata-kata, seolah membentur derik
jangkerik yang bersahut-sahut
dan itu mengundang cemas dan takut
aku cemas bila terlelap
dan takut tersasar di lambung mimpi yang berpusar.

Walau telah kulewati pertengahan malam ini, Gadis,
Segalanya ternyata baru saja dimulai
kereta terjungkir dari rel,
tiga sepeda motor remuk di jalur pantura
dan laba-laba yang menjalin sarang di pojok kamarku
terombang-ambing di laut wajahmu.

Setelah itu entah apa lagi,
entah apa lagi.

Makassar, Oktober 08

Kamis, 02 Oktober 2008

Ladang Tebu

KATAKAN padaku, Gadis,
gerangan apa yang tumbuh di keningmu itu?

Ladang tebu, jawabmu,
sehampar yang menyimpan getah gula
ribuan galon banyaknya.

Sayang, cintaku bukan traktor
bukan bilah-bilah tajam bergerigi
yang terpacak di moncong mesin pemanen otomatis.

Juga tak tega aku meninggalkan
ladangmu kerontang
meski ingin benar kureguk
tetes-tetes cintamu yang manis.

Izinkan aku, Gadis, mencintaimu seperti petani
yang menjaga tanah dengan darah
dan merawat tetumbuhan selayaknya
menekuni bayi sendiri.

Sebab aku bukan peluru
bukan sangkur yang kuasa
merampasmu paksa.

Makassar, Oktober 08

Gelap Sunyi

GELAP, sunyi, gelap, sunyi; sudah aku duga ada yang tak beres pada Oktober kali ini. Matahari bersinar jelas dan percakapan-percakapan jatuh di jalan-jalan seperti hujan, seperti simfoni, tapi yang mengepungku masih saja bernama gelap dan sunyi.

Barangkali, sebab jauh dari rumah, dari ibu dan kembang yang diukirnya di atas kue lebaran, jarak kemudian melamurkan pandangan demi memantik rindu yang berhulu dari kenangan. Oh, jarak, kepadanya pernah aku menitip harap teramat banyak, namun akhirnya hanya tersisa tak ada yang kita; hanya ada kau yang saja dan aku tak pernah ada.

Aku tahu, Oktober tak kunjung ramah pada kelopak bunga musim semi dan anak-anak yang tetap puasa seusai lebaran fitri. Tapi mengapa Oktober kali ini juga tak ramah padaku? Dalam gelap, dalam sunyi; tak kumiliki Oktober kali ini. Juga kau yang memanggilku dengan nama orang lain.

Gelap, sunyi, gelap, sunyi; untuk gelap aku nyalakan lampu, buat sunyi aku tulis puisi. Menulis puisi, sayangku, tak seperti membangun museum atau surga; penghuninya tak akan abadi begitu saja. Menulis puisi tak ubahnya seperti aku membakar jantung sendiri, namun tak kau lihat apa pun selain asap dan api.

Makassar, Oktober 08

Sabtu, 27 September 2008

Tentang Hujan dan Ulang Tahun ke-24 Seorang Perempuan

:Astri Yuningsih, selamat ulang tahun

BUKAN aku yang membawa hujan malam itu. Bukan pula hujan bermaksud menjadi kado ulang tahun untukmu. Bahkan aku lupa membawa kado dan mantel hujan untuk menepis gerimis dari wajahmu. Barangkali, hujan ingin menggantikan 24 batang lilin yang mestinya dinyalakan seseorang ketika itu. Ah, ketimbang meniup lilin, memang lebih pantas rasanya jika kau merayakan ulang tahun dengan meniup hujan saja.

Sungguh, bukan aku yang membawa hujan malam itu. Bahkan aku lupa membawa kado untukmu. Kita berteduh sejenak sembari saling bercerita tentang betapa menakutkannya pertambahan usia. Suatu saat kita akan tua, berbaring kesepian di atas balai-balai dan menatap ke luar jendela sambil menahan tulang-tulang yang merintih gemeretak tiap kali kita bergerak.

Aci, Aci, maafkan mulutku. Mestinya cerita macam itu tak patut kau dengar dari seseorang yang lupa membawakanmu sekotak kado ulang tahun. Sebentar kemudian hujan reda. Sebentar kemudian kau mengeluh soal panas yang mulai menjalari kepala. Rupanya hujan telah meninggalkan kado yang manis. Dan bunyi bersinmu persis seperti perempuan yang sedang meniup hujan.

Makassar, September 08

Risalah Halaman

Ayat 1 (Pagar)

Hujan tak pernah memilih-milah
apakah besi, apakah batu
Akan berkarat segala yang terluput
dari lumut

Ayat 2 (Sulur)

Sejauh apapun tak akan terjangkau matahari
Sejauh kau tak membujuk yang kau peluk
untuk tumbuh lebih tinggi

Ayat 3 (Rumput Teki)

Bagilah air dari sisa embun semalam
untuk menyembunyikan api
milik puntung rokok yang meloncat
dari jendela

Ayat 4 (Semak)

Dari tanah berbau dingin
satu saat kau terbang dikepit paruh burung
menuju sarang tempat mereka menghangatkan
telur-telurnya

Ayat 5 (Pohon Mangga)

Akan luruh berpuluh helai daun tua,
ranting-ranting goyah
sebelum tumbuh sebiji yang manis dan buah

Ayat 6 (Tempat Sampah)

Berkumpul segala yang tercampak,
merana dan dikhianati
Terbakar dalam api berwarna dendam

Ayat 7 (Saluran Air)

Siapa peduli pada yang tenggelam
Siapa peduli jika ada yang sampai di tujuan.

Makassar, September 08

Sabtu, 20 September 2008

Mencari Sisa-sisa Perjumpaan dalam Bangunan yang Hampir Diruntuhkan

Aku singgahi koridor bangunan ini, sehari sebelum diruntuhkan. Mencari apa pun yang layak; potongan pigura, pelat ornamen juga sisa-sisa perjumpaan pertama kita di anak tangga. Sayang, tak kutemukan kau. Tak kutemukan perjumpaan kedua, sehingga kolase yang kususun dari sisa-sisa perjumpaan pertama kita tak merekat tepat, lantas buyar belaka; tak menjadi wajahmu, tak menjadi wajah senja yang memakamkan diri di kedalaman matamu.

Sungguh, aku mencintaimu sungguh-sungguh. Hanya saja ingatanku teramat rapuh seperti sayap-sayap serangga setelah lelah mengembara ke jauh. Aku menyukai anakan rambut yang jatuh terjuntai di atas alismu, tapi tak sanggup aku mengingatnya persis seperti itu. Aku belum juga mati, tapi sekumpulan lebah mulai membangun sarang di jiwaku. Maka aku berkeras mencari sisa-sisa perjumpaan dan kau yang tak juga kutemukan.

Kira-kira esok pagi, bangunan ini tinggal reruntuhan. Barangkali tiada selain aku yang merasa kehilangan.

Makassar, September 08

Jumat, 12 September 2008

Di Hadapan Matamu

DI HADAPAN matamu, dapat kurasakan tubuhku tiba-tiba menipis seperti gerimis, seperti kabut atau daun-daun perdu yang menahan derai dingin dari nafasmu yang lembab. Siang itu, anak-anak tangga yang kita daki ikut bergerak searah kaki-kaki kita, membuatku tak pernah tiba di puncak tangga dan kau tak kunjung sampai di sisiku. Mungkin ini bukan perjumpaan kita yang pertama, sebab aku percaya jauh sebelumnya kita pernah bertemu dalam rahim ibuku. Kau adalah yang telah meletakkan benda itu di dadaku. Sesuatu yang kemudian berdetak sesaat setelah bibirmu meninggalkan lukisan yang bertahun-tahun tertidur di bibirku.

Tubuh Pohon

: merayakan setahun umur blog ini.

KAU menginginkan di tubuhmu ada bunga-bunga merekah, atau buah atau kehidupan yang berkecambah. Sayang sepanjang musim ini cuma daun-daun yang kau dapati tumbuh menggeliat di sekujur ranting dan tangan-tanganmu yang bercabang. Sesekali angin datang mengayun-ayunkan dahan. Daun-daun itu menjadi penari seolah tulang mereka lentur terbuat dari benang layang-layang.

Tapi itu tak menghiburmu. Setiap saat ada yang menguning teramat pucat, lantas mencokelat, jatuh, mati dan pada akhirnya menjadi tak berarti. Setiap helai yang lerai menyingkap jutaan rahasia di tubuhmu.

Baru kali ini, sejak bertahun-tahun lalu, kau menginginkan dirimu tak sekadar rimbun, tak sekadar teduh. Kau bermimpi menjadi anggun seperti peri dalam dongeng klenting kuning, atau pinokio atau puteri tidur dan tujuh kurcaci.

Tapi mereka hanyalah para peziarah yang singgah berteduh sejenak, tak pernah terpikir menitipkan sebaris pujian atau mengabadikan pucuk-pucukmu yang menggapai-gapai sebagai lukisan. Suatu saat, entah oleh petir, atau badai atau gergaji mesin, tubuhmu bakal tumbang, terbakar, mati dan pada akhirnya menjadi tak berarti.


Makassar, September 08

Rabu, 06 Agustus 2008

06:08

Sudah tugasmu matahari,
meminjam tangan pagi
buat menampar pipiku
untuk membangunkan lukalukaku
yang terluka
sebelum dedering telepon,
lelengking klakson dan
cempreng kaleng-kaleng rombeng
menyesap jantungku sampai
susut denyut demi denyut.

Namun jika di tepi ranjang ini
yang akan kudapati
cuma cumbuan yang tiada
dan cinta yang penyendiri,
sebaiknya biarkan aku tidur lagi.

Makassar, Agustus 08

Minggu, 27 Juli 2008

Angka-angka; Musuh Bagiku

Berulangkali aku berusaha menghitung
jumlah pot yang berjejer banjar di beranda,
tapi selalu saja hitunganku terhenti
pada bilangan tiga, entah kenapa.
Barangkali, sebab aku tengah bermusuhan
dengan angka-angka.

Di lingkar tepi jam dinding,
mereka menyesaki tiap tempat
tanpa menyisakan jeda,
membuatku merasa bertambah tua
lebih cepat dari semestinya.
Pula mereka melekat di tombol-tombol
telepon genggamku dan berjejal
di layarnya yang menyala.
Setiap ingin menghubungimu
setiap itu pula aku takut
yang menjawabku hanyalah
deretan angka bersuara palsu.

Di pejamku, ada bilangan minta direka
di jagaku, ada pecahan ingin diterka.
Duduk, melangkah, menyebut namamu,
apa pun yang kulakukan
kepalaku gaduh penuh ditindih angka-angka.
Terasa benar hidupku tersusun
dari rumus matematika belaka.

Senja saat ini seperti anak kecil
yang kuyakini belum kenal angka-angka.
Wajahnya mual memerah saga
sehabis melahap gulali tanpa peduli
sebanyak apa.
Perlahan di tiang listrik,
di tembok-tembok dan pepohonan,
bermunculan wajah-wajah asing.
Seperti wajah para penjudi
sebab mereka minta siapa pun
yang lalu di jalan itu
memilih angka tertentu di hari pemilu.

Kau ingat hari itu?
pemilu beberapa tahun lalu,
kita sembunyi di kamar asrama putri
yang kau tinggali.
Untuk sementara kita abaikan perintah negara
sembari menelusuri tubuh satu sama lain
mencari apa saja yang bukan wajah, nama
atau jentik-jentik angka yang asing.

Gorontalo, Juli 08

Minggu, 20 Juli 2008

Padebuolo

Seperti ada yang menggantung
kupu-kupu mati
di langit Padebuolo sore ini.

Membisiki selokan
berhenti menampung hujan
yang melacak jejak-jejak tapak
pejalan kaki.

Semacam pesan ganjil
agar aku tak keluar rumah
tak kemana pun
sebab tak lama lagi
Padebuolo akan terjaga
dan mencumbu bidadari
yang menyamar sebagai malam hari.

Dari jauh, dentam palu pandai besi
menjadi lonceng yang membangunkan
seisi sarang kunang-kunang
memulakan pesta dansa
yang takkan berhenti sampai esok petang.

Gorontalo, Juli 08

Senin, 14 Juli 2008

Di Tepi Kolam Kelam

/1/
Di tepi kolam kelam aku bercakap dengan diam
dengan apa pun yang bernama kesunyian
batu, rumput, lumut dan pancuran
benda-benda yang paham bahasa manusia
tapi lebih pilih menghargai kata-kata
daripada memamerkan kefasihan bicara.

Sebab tak pernah kutemukan
pendengar yang lebih sabar
yang bersedia jadi tua di tempat ini
demi mendengar kisah yang telah kuceritakan
hampir ribuan kali.

/2/
Pernah, entah sebab kejahatan apa,
seorang penyihir mengutukku jadi batu
tepat sesaat setelah aku jatuh cinta padamu
lantas dicampakkannya tubuhku ke tengah kolam
berisi dua ekor ikan merah jambu.

Barangkali dahulu mereka adalah sepasang pecinta
yang dikutuk penyihir karena terhasut rasa cemburu.

Entahlah, kekasihku. Entahlah
sejauh yang kuingat adalah
itu kali pertama aku belajar bicara
pada yang takkan membalas kata-kata.

/3/
Musim hujan membawa tetes-tetes air
mengurai memecah tubuhku jadi pasir,
serpihan kecil dan butir-butir kerikil
tapi bukan itu yang menyakitiku, sayang.

Benar tubuhku telah sekujurnya membatu
tapi jiwa dan pikiranku tetap menyala
seperti api pendiangan pondok musim salju
sebagai batu aku masih saja
merasakan sakit akibat merindu.

Adakalanya air kolam bertambah dalam
punggungku ditumbuhi ganggang
dan kepalaku perlahan tenggelam
tapi bukan itu yang merisaukanku, sayang.

Sebongkah batu tak takut tenggelam
juga tak mampu menyelam ke tepi kolam
jika suatu ketika kau lewat, aku khawatir
air mengeruhkan bayangmu sebagai
gelombang-gelombang kabur
dan nyanyianmu gema yang lamur.

Nyatanya, tak sekali pun kau lewat, kekasihku
aku tahu itu, sebab batu tak pernah tertidur.

/4/
Bertahun-tahun. Setelah jadi batu bertahun-tahun
suatu malam tubuhku kembali jadi manusia semula
bebas dari kutukan seperti serangga muda
menggeliat lepas dari kepompongnya.

Namun, sebab tak mampu menemukanmu,
aku merasa tak lebih beruntung dari sebongkah batu
dan kutukan itu lalu kekal dalam bentuk yang baru.

Maka di sinilah, aku bercakap dengan diam
di tepi kolam kelam mengenang saat-saat silam.

Gorontalo, Juli 08

Paguyaman, kata Kakekku

Inilah paguyaman, kata kakekku
ibu bagi gunung-gunung
dan kebun jagung tak terhitung.

Sebentar hujan, sebentar reda
musim di sini seperti dia
di jaman perang dahulu
seorang perwira rendah
yang amat peragu.

Inilah paguyaman, kata kakekku
sepasang pulau memeluk teluk
jalanan memintas bukit dan ceruk.

Katanya, ceritakanlah rahasia
pada pohon kelapa
atau pokok ubi yang bisa dipercaya

menjauhlah dari antena parabola
yang sejak kecil sudah diajari
jadi mata-mata.

Inilah paguyaman, kata kakekku
ombak jauh lebih senyap
dari jari jemari pesulap

“aku ingin jadi pesulap,”
ujarnya tiba-tiba.

“aku benar-benar ingin jadi pesulap,”
ulangnya terbata-bata.

“Bukankah menakjubkan
bisa memotong peti jadi
kotak-kotak persegi
tanpa membunuh perempuan
cantik yang tengah berbaring
di dalamnya?”
Dia bergumam sambil menatap
sepetak kebun kelapa
di luar jendela.

Aku tahu, kakekku dulu
punya banyak kebun kelapa
kebun-kebun itu satu persatu
telah dijual untuk menutup
lubang yang ditinggalkan ayah
dan paman-pamanku di tubuhnya.

“Aku mengerti, kakek
aku mengerti,” kataku.

“Inilah paguyaman, inilah paguyaman.
Dapatkah kau bacakan puisi untukku, cu?”
pintanya kemudian.

Paguyaman, Juli 08

Kunci untuk Kepalaku

Setiap malam sebelum tidur
aku mengunci pintu, jendela
dan bibirku,
agar dapat kurayakan kantuk
tanpa diganggu sebuah ketuk
dan dalam tidur aku tak
mengigaukan nama-nama buruk.

Satu-satunya yang terbuka
tinggal kepalaku yang telah
kehilangan kuncinya
tempat kau bebas keluar masuk
membawa tanam-tanaman,
hewan-hewan dan mainan asing
entah dari mana
kemudian kau letakkan mereka
di sudut-sudut yang dapat kulihat
mudah kuingat.

Maka keesokan paginya
kutemukan diriku terbangun
dari tidur yang belum tuntas
aku mandi lalu bergegas
ke toko mainan
untuk membelikan hadiah
ulang tahun untukmu

Di pagi yang lain entah mengapa
aku merasa selalu bangun kesiangan
terlambat menyiram tanaman,
dan memberi makan hewan-hewan
kesayanganmu yang gaduh tak
keruan.

Tepat pukul dua belas siang
aku kembali menjadi seorang dungu
yang sadar di rumah ini
tak ada tanaman sepucuk pun,
hewan-hewan peliharaan
atau gadis manis berulang tahun
yang membutuhkan sekotak mainan.

Itulah yang terjadi
jika aku tidur meninggalkan
kepala tak terkunci.

telah kudatangi toko kunci
di kota ini, tapi pemiliknya
mengatakan satu perkara
yang barangkali juga akan
dikatakan para pemilik toko
kunci lainnya:

“sayang, tuan. Sayang sekali.
Kunci semacam itu sudah tak lagi
diproduksi
kira-kira sejak ditemukannya
satelit dan televisi.”

Gorontalo, Juli 08

Kamis, 03 Juli 2008

Dua Hal yang Sulit Aku Temukan di Kota Ini

Pertama: sebuah malam tak berhujan

Aku ingin duduk di pantai, di taman, atau tempat mana pun yang membuatku nyaman tanpa takut tetes-tetes hujan memerah perihkan mataku saat menatap bulan.

Mahal benar harga sebuah malam tak berhujan dan harga bulan, si pemilik mata yang senantiasa mengawasiku. Kekasihku, tanpa melihat bulan aku seperti seorang asing yang sedang tak diawasi siapa-siapa.

Kedua: sebuah rumah yang tak bernama apotik

Sebab nyaris seluruh rumah di kota ini telah bernama apotik. Para penghuninya berpakaian warna senada. Sapaan mereka persis sama: "Tuan butuh obat ini obat itu."

Aku tak butuh obat apa pun. Dan rasa sakit yang memiliki bau tubuhmu ini memang kubawa serta dengan sengaja setiap kali aku berniat mengunjungi sebuah kota. Juga setiap kali aku butuh teman jalan-jalan, makan malam atau menikmati musik jazz di saat senggang.

Tak masuk akal bagiku, jika pikir mereka rasa sakit ini begitu mengganggu. Atau mungkin hanya kau dan aku yang tahu, tanpa rasa sakit sebuah naskah tak lebih dari karya seni tak bermutu?

Gorontalo, Juli 08

Kamis, 15 Mei 2008

Di Atas Makam

DAPAT didengarnya kicau burung-burung sedang bercinta di dahan-dahan pohon kamboja,
sementara pohon itu satu demi satu melepas bunga-bunganya yang tak lagi remaja.

Dan setelah rebah di tanah, bunga-bunga itu dengan sedikit ragu menyapa rumput-rumput liar yang tumbuh tak jauh dari tempat mereka jatuh.

Tapi rumput-rumput bergeming walau menyangka bunga-bunga itu adalah para peri bersayap terbelah lima yang melayang anggun dari angkasa entah untuk alasan apa.

Rumput-rumput bertubuh kerdil itu telah hidup merana terlalu lama; Tak punya waktu untuk bicara, bertanya, bahkan sekadar mendongak ke angkasa.

Sebab miskin benar tanah yang mendekap akar-akar mereka, sebab sari-sari kesuburan telah sekian tahun menguap disesap pohon kamboja yang lebih kuasa, lebih raksasa.

Di atas makamnya, rumput-rumput kerdil berjumpa bunga-bunga tua, tapi bahkan tak satu percakapan pun menyebut namanya atau bertanya mengapa begitu lama dia tak dikunjungi sesiapa, mengapa begitu lama di makam ini tak terdengar ratapan atau doa.

Dia, yang sedang terbaring sesak di rahim makam gelap senyap itu, tak tahu namanya telah lenyap dari batu nisan setelah dilunturkan oleh tahun-tahun dan hujan.

Makassar, Mei 08

Selasa, 06 Mei 2008

Pesan apa?

:Ambun

Di tepi meja makan sebuah restoran
aku genggam jemarimu yang sepuluh
seraya bertanya sungguh-sungguh:
"Pesan apa untuk ulang tahunmu yang
kesekian ini?"

“Sepiring mie ayam, sekotak chicken nuggets,
dua bongkah grill burger dan lima potong pisang goreng.
Eh, tidak! Jadikan sepuluh. Jangan lupa kopi toraja
tambah puisi sebait saja.”

“Hah! Sebanyak itu?”

“Ya tentu saja. Saya kan sedang diet.”

Makassar, Mei 2008

(Maaf Ambun, saya tidak terbiasa bikin puisi-puisi romantis belakangan ini)

Selasa, 22 April 2008

Ajaran Ayah

Ayah mengajarkanku untuk tak gampang percaya
Sebaliknya ibu selalu percaya bahkan pada siapa
saja yang baru ditemuinya.

Pernah ibu percaya pada seorang karyawan
Perusahaan Listrik Negara. kepadanya ibu
menitipkan uang pembayaran tagihan.
Sekali sebulan.

Sampai suatu hari datang pemberitahuan
lewat secarik kertas berisi angka-angka
diantarkan seorang lelaki yang kujuluki
malaikat pencabut cahaya.

Malaikat, sebab pakaiannya putih dan
aksennya lembut seperti orang sunda.

Pencabut cahaya, sebab sepeninggalnya
rumah kami dingin dan gelap tak ubahnya
sel penjara.

Ya, lelaki itu adalah petugas
penyegelan yang dikirim ke rumah kami
yang telah menunggak pembayaran dua bulan.

Ayah juga mengajariku untuk tak banyak bicara
sebaliknya ibu selalu bicara pada siapa pun
yang ditemuinya. Sekurang-kurangnya ibu akan
bertanya kabar atau melempar sepotong kelakar.

Setiap malam ibu dan aku saling bertukar cerita.
Bertukar kata-kata. Sedang ayah akan berdiam
di kamarnya sendiri entah melakukan apa.

Aku pernah berpikir, barangkali ayah adalah
pembenci kata-kata seperti antagonis tua
dalam film-film mafia.

Tapi tidak, ayah tak membenci semua kata.
Dia hanya membenci kata-kata orang lain
dan menganggap kata-katanya sendiri seolah
koleksi kupu-kupu langka.

Itulah sebabnya ayah tak mau berbagi dan kata-katanya
kerap dinikmatinya sendiri.

Saat aku kecil dia jarang mendongeng atau menyanyikan
ninabobo untukku. Saat remaja pun dia tetap saja jarang bicara,
atau melarangku untuk tak merokok atau keluyuran larut malam.

Tak aneh bila aku sama sekali tak merindukan kata-katanya.
Mengingat betapa sedikit kata-kata yang diwariskannya buatku.

Dari yang sedikit itu tinggal enam kata yang masih
terpahat lekat-lekat dalam ingatan :
Jangan gampang percaya, jangan banyak bicara.

Tentu saja, aku menjadi seseorang yang tak gampang percaya,
tapi aku tetap tak dapat menyembunyikan kata-kata

Kecuali satu kali, saat aku mendapati ayah sedang bergandeng intim
dengan seorang perempuan yang bukan ibuku.

Sekali itu aku percaya dan sekali itu aku berusaha
menyembunyikan kata-kata.

Makassar, April 2008

Senin, 21 April 2008

Nina

Adalah aneh melihatmu

Masih terjaga saat kemarau begini

Tidurlah!

Makassar, Agustus 07

Nina (2)

Kau masih belum tertidur juga rupanya

Terjagalah!

Makassar, April 2008

Seperti Kecap

Aku seolah pernah melihat warna hitam yang sama

Di satu tempat pada suatu waktu

Pada antrian panjang dekat etalase sebuah toko buku

Tapi sesungguhnya, aku ingin mencari warna hitam itu

pada matamu

Sebab aku seakan pernah mengecap rasa manis seperti ini

Di suatu waktu di suatu masa lalu

Mungkin di laci meja belajarku

Atau pada sekeping bibir yang beku

Ya. Pada sekeping bibir yang beku


Makassar, April 2008

Minggu, 20 April 2008

Memanjangkan Rambut

Aku ingin memanjangkan rambut. Lebih panjang daripada
sungai dalam sebuah buku tentang seorang pecinta anggrek
hantu Tapi sungai di buku itu bertubuh tegas dan lurus.
Berkelok hanya sesekali tak terus menerus. Sedang rambutku
kering kusut tak ubahnya serabut. Mengingatkan pada kertas
yang terbakar pelan-pelan. Lalu berkerut. Lalu menyusut.

Aku ingin memanjangkan rambut. Lebih panjang dari benang
laba-laba yang dijatuhkan Buddha untuk para narapidana
neraka. Yang diberi kesempatan sekali lagi buat bertobat
sambil memanjat sampai ke nirwana. Tapi rambutku malah
tumbuh ke atas seperti ribuan sungut. Barangkali sebab
jarang diusap jari jemari lembut. Jari jemari milik ibu.
Juga jari jemari milikmu.

Rambut sepanjang ini membuatku teringat ayah.
Sejak kecil ia memperlakukan aku layaknya budak
tuan tanah. Rambutku tak pernah dibiarkannya
rimbun lebat. Selang sebulan aku dibawanya
ke tukang cukur yang membabat habis kepalaku
sampai polos dan kesat. Dengan kepala tanpa rambut
aku tampak seolah anak yang patuh dan penurut.

Kali ini biarkan rambutku melakukan apa pun semaunya.
Tak ada sisir, gunting, cermin atau ahli mode dan gaya.
Hanya saja rambutku mesti keramas. Rutin sehari sekali.
Untuk tak menyiksa si kulit kepala tak berdosa. Pula aku
memanjangkan janggut, kumis, cambang dan segala macam
rambut yang dapat tumbuh di tubuhku. Membiarkan mereka
hidup sedikit lebih lama agar satu sama lain dapat saling
menyapa, saling percaya, dan tahu masing-masing memiliki
fungsi tak jauh beda.

Di kehidupan lampau barangkali aku adalah seorang
pembunuh singa. Lelaki perkasa yang menitipkan
segala rahasia tentang rambutnya kepada seorang
perempuan penjual rahasia. Kemudian perempuan itu
memotong pendek rambutnya sehingga mendadak ia
kehilangan kekuatan, lalu penglihatan, lalu kepercayaan,
dan akhirnya nyaris segalanya. Andai perempuan itu tak
menyisakan sedikit rambut tumbuh di kepalanya.
Sedikit saja. Barangkali ia pun akan kehilangan perempuan
itu. Perempuan yang di hatinya perlahan-lahan tumbuh
cahaya. Seiring tumbuh rambut baru di kepalanya.

Aku ingin memanjangkan rambut. Mungkin tak akan
sampai sepanjang sungai. Atau selampai benang laba-laba
yang jatuh menjuntai. Rambutku tumbuh seperti jejaring
di dahan-dahan beringin. Megar, menyemak, kaku dan tak
peduli pada angin. Barangkali kau dapat menumpuk
potong-potongan mimpi buruk yang bakal tersesat di antara
lubang-lubang akarnya yang rapat. Atau kau dapat
menyisipkan rahasia yang baru bisa terbuka saat rambut ini
memutih, rontok, lalu lelah dan menyerah pada usia.

Makassar, April 2008

Selasa, 15 April 2008

ukh....

Mohon maaf, pengelola blog ini sedang menderita penyakit writer's block.
doakan semoga cepat sembuh ya...

Rabu, 20 Februari 2008

Jerusalem Tua

Akhir perjalanan ini, Dinda, tak jauh lagi
Di seberang Jerusalem tua yang mekar antara
Bukit Zaitun dan Laut Mati. Setelah ini
tak ada bukit-bukit terjal berbatu, sungai,
atau ular-ular ganas yang menunggu di hulu.

Dingin dan lapar biar jadi musuhku.
Andai ada yang perlu kau khawatirkan
maka itu adalah anak dalam rahimmu

Kelak dia akan setinggi raja, semulia nabi.
Itulah takdirnya. Walau barangkali
aku terlalu bodoh buat mendidiknya
jadi orang suci. Aku hanya sanggup membimbing
sepasang tangan dan kakinya agar kuat layaknya
milik lelaki sejati.
Untukmu, dia akan membangun sebuah rumah,
menggembala domba dan menebar benih-benih
gandum di ladang.
Pula dia yang bakal menggantikanku menjaga
dan menuntunmu dalam setiap perjalanan jauh.

Karena itu bersabarlah, Dinda
akhir perjalanan kita tak jauh lagi.
Di seberang jerusalem tua yang mekar
antara bukit zaitun dan laut mati,
arwah para raja, ksatria dan orang suci
tengah menunggumu. Dan menunggu anak
yang akan kau lahirkan ini.

(After watching the nativity story, a movie about Mary and Joseph's journey from Nazareth to Bethlehem. Truly a religious-romantic story. It teach me how the originally love suppose to be)

Rabu, 06 Februari 2008

Musim Semi di Toko Roti

Memang sebaiknya tak perlu ada musim semi di negeri ini
Agar aku dapat mengunjungimu tiap hari; sore dan pagi
Di sebuah toko roti

Sore ketika di dinding-dinding tokomu
Memekar warna kastanye dan menguar bau blueberry
Sayangnya, tanpa guguran daun marple
Dan cericit burung-burung kolibri

Pagi ketika aku kerap kali menjumpaimu
Tengah membereskan meja dan kursi
Dan kaca pembatas rak tempat memajang roti
Yang sesekali kau tiup sampai mengembun
Agar kau dapat menuliskan namamu sendiri
Emily

Memang sebaiknya tak perlu ada musim semi di negeri ini
Dan satu-satunya musim semi hanya ada di toko roti
Yang anak pemiliknya senang mengenakan celemek merah hati

Memang sebaiknya tak perlu ada musim semi di negeri ini
Agar para petani dapat panen setahun tiga kali
Dan aku akan lebih sering mengunjungimu
Tiap sore dan pagi

Penghujung Musim Hujan (5)

Aku selalu rindu menatapmu dari balik dedaunan dan dahan-dahan, sambil membuat siulan-siulan panjang yang mungkin membuat bulu-bulu sayapmu bergetaran. Aku selalu rindu mendudukkanmu di atas padang rumput hangat, untuk menjelaskan mengapa langit begitu tenang dan angin musim tetap berembus ke barat. Aku akan selalu rindu. Namun rindu apapun telah disembunyikan hujan teramat rapat.

Senin, 28 Januari 2008

Mencoba Menerjemahkan Sajak Robert Frost


ROBERT LEE FROST, menerjemahkan sajaknya benar-benar sebuah pekerjaan yang menyenangkan walau tak mudah. Mungkin, ketakmudahan itu sendiri yang merupakan bagian paling menyenangkan.

Sayang saya cuma berhasil menerjemahkan satu. Maklum, Frost terkenal akan imajisme dengan metaforanya yang berlapis-lapis (salah satu gaya yang kerap saya tiru). Apalagi sajak-sajak Frost adalah sajak-sajak dari bahasa ibu, bukan terjemahan dari bahasa lain ke bahasa Inggris sehingga baik struktur, kaidah ucapan maupun relasi makna benar-benar harus melakukan adaptasi panjang dengan bahasa tujuannya (Indonesia). Sesuatu yang hampir musykil dilakukan sebuah sajak imajisme. Jadi saran saya jangan baca terjemahannya, bacalah dalam bahasa asli.

sedikit banyak soal Robert Frost silahkan klik di sini. Adapun sajak-sajaknya dapat anda temukan di sini.

dan beginilah hasil terjemahan itu:

Seekor Burung Mungil

Pernah aku berharap seekor burung terbang menjauh,
Dan tak lagi bernyanyi sepanjang hari di depan rumahku;

Kukibaskan tangan menghalaunya lewat pintu
Ketika aku seolah tak ingin lagi diganggu.

Sepertinya ada yang salah denganku.
Si burung mungil tak tercela buktinya.

Dan tentu ada sesuatu yang janggal
Dalam keinginan mengheningkan nyanyian apa saja.

aslinya seperti ini:

A Minor Bird

I have wished a bird would fly away,
And not sing by my house all day;

Have clapped my hands at him from the door
When it seemed as if I could bear no more.

The fault must partly have been in me.
The bird was not to blame for his key.

And of course there must be something wrong
In wanting to silence any song.

Sabtu, 19 Januari 2008

Riwayat Suara Perempuan

Pernah kau bertanya; bagaimana perempuan mendapatkan suara lembutnya?

Tatkala Adam tengah berupaya keras mempelajari banyak nama-nama benda yang baginya asing dan baru, Hawa belum lama tercipta; lemah dan bisu. Sebab Tuhan merasa perlu menunda mencipta suara untuknya. Dan Tuhan memberi kesempatan Adam menentukan sendiri bentuk suara seperti apa yang layak diletakkan dalam serat-serat halus di tenggorokan bakal kekasihnya itu. Maka Adam pun meninggalkan pelajaran buat mencari suara-suara. Dan setelah beberapa kali mengelilingi taman surga, didapatinya nada-nada paling indah dalam kicau burung-burung murai, desir-desir air sungai, dan gemerisik dedaunan pohon cempaka yang rimbun-permai. Namun dia tak dapat memilih salah satu.

Tapi Tuhan sungguh bijak tak membiarkan Adam bingung terlampau lama. Dan Dia pun terlalu bijak untuk tak memilih salah satu. Dengan kelembutan mahaguru pelukis saat memadu-madankan warna-warni ajaib cat minyak, dibaurkan-Nya segala suara yang ditemui Adam, sehingga tercipta sebentuk suara baru buat makhluk-Nya yang paling baru. Dan, tak seperti cerita banyak orang, Adam sendirilah yang kemudian meletakkan suara baru itu di rongga tenggorokan Hawa. Dan Hawa membalas kebaikan itu dengan menyebut nama Adam sebagai kata yang diucapkannya kali pertama.

Tentu tak perlu lagi aku menjelaskan kicau apa yang tiap pagi membangunkan dan mengingatkanmu pada sarapan yang sudah siap santap. Pula tak perlu menjelaskan kiranya desir-desir apa yang meluluhkan pongah-angkuhmu itu, seperti luluhnya cadas bebatu setelah terkikis air sungai sekian waktu. Atau, masih perlukah sebuah penjelasan perihal gemerisik gaib yang selalu menarikmu ke dalam pelukannya; yang teduh dan seakan berbau cempaka itu?

Kamis, 17 Januari 2008

Penghujung Musim Hujan (4)

Bagaimana kau perlakukan aku mestinya. Hujan nyaris habis dan aku hampir kering. Namun huruf-huruf dan kata-kata di tubuhku terlanjur luntur, lamur, sukar terbaca. Andai aku dapat membaca, mampu berkata-kata dan paham alasan seseorang menangis atau tertawa setelah menelusur tubuhku seksama sekian lama, barangkali akan mudah bagimu memutuskan adakah cukup tempat yang hangat buatku di laci lemari tempat berlusin surat cinta darinya kau simpan. Atau kau akan pilih mengoyak, menyobek, dan membakar tubuhku saja. Apakah aku adalah surat cintanya seperti yang sudah-sudah, atau sekadar cara mencapakkanmu paling mudah. Aku terlalu lama meringkuk dalam kotak surat bocor. Sebagian huruf dan kata terlarut dalam hujan, terbawa arus selokan, menyatu sungai sebagian; lainnya diserap tanah, batu dan akar pepohonan. Kelak mungkin mereka bermuara kembali di lautan, menguap dan luruh jadi hujan musim depan. Barangkali kau mesti mengumpulkan setiap huruf, setiap kata dalam hujan itu lalu menyusunnya. Agar kau tahu pesan apa yang ingin disampaikannya dan bagaimana kau perlakukan aku mestinya.

Sabtu, 12 Januari 2008

Penghujung Musim Hujan (3)

Mereka berlarian di sekitarmu. Anak-anak yang kemudian mengguncang-guncang tubuhmu agar buah-buah yang baru berkecambah itu tumpah dari ranting-rantingmu. Namun hanya sisa-sisa hujan yang semula menempel di daun-daunmu itu yang jatuh luruh menimpa kepala-kepala mereka. Dan mereka tertawa. Kau ingin ikut tertawa tapi kau tahan. Sebab tawa sebatang pohon dapat membuat anak-anak ketakutan. Maka kau biarkan mereka kembali berlarian di sekitarmu. Sampai salah satu di antara mereka ingin memanjatmu. Tapi kau membisikkannya semacam isyarat larangan. Sebab batangmu masih licin, basah dan berlumut. Kau khawatir dia akan jatuh dan sakit. Walau tak ada yang lebih sakit dari sakit akar-akarmu saat terinjak kaki-kaki mereka, dahan-dahanmu ketika dipatahkan tangan-tangan mereka dan sekujur kulitmu yang penuh toreh nama-nama mereka dan nama gadis-gadis yang mereka idam diam-diam. Kau ingin meringis tapi kau tahan. Sebab seringai sebatang pohon dapat membuat anak-anak ketakutan.

Kamis, 10 Januari 2008

Penghujung Musim Hujan (2)

Tak perlu kau khawatirkan seseorang yang mengirim mimpi lewat pesan singkat itu. Mimpi di mana kau menjadi nuh yang mesti membangun bahtera dari ratusan kubik kayu pohon gifar untuk menyelamatkan berpasang-pasang hewan dan manusia dari banjir besar yang kelak menenggelamkan dunia dan menjadikannya lautan. Senyatanya banjir cuma setinggi mata kaki. Bahkan kucingmu tak bakal tenggelam andai ia mampu sembunyi di atas lemari.

Penghujung Musim Hujan (1)

Seseorang mesti meminta lelaki itu berhenti berdiri di beranda. Berhenti tercenung seperti tamu di rumah tuan tak berkenan. Berhenti menengadah tangan mengharap jemarinya dibasahi hujan. Karena musim hujan telah habis dan langit telah lupa bahasa elok-cantik yang fasih mereka ucap untuk mempercakapkan kota, cuaca, dan politik. Katakan padanya untuk berhenti menunggu, berhenti merindu. Sebab musim cinta telah habis dan sepasang manusia tak perlu berkata-kata untuk memahami mengapa mereka bisa saling jatuh cinta tiba-tiba.

Senin, 07 Januari 2008

Aku; penghutang yang bangkrut

Aku berhutang pada baju kotor di sudut kamar
Separuh busuk, ditumbuhi buluk dan lumut
Andai punya mulut, mereka tentu bikin ribut
Mengeluh dengan aduh paling gaduh
Tuan, baju kotor itu ibarat lelaki patah hati
Cinta pergi sebagai keringat menguap
Meninggalkan sedikit daki
Tuan, kenangan itu seperti noda bekas kopi
Sukar hilang jika tak dicuci berulang kali.

Aku berhutang pada lembar-lembar buku harian
Yang kosong tanpa puisi atau satupun catatan ingatan
Seseorang meninggalkan untukku secarik kartu pos
Bergambar pantai sebuah negeri yang belum pernah aku kunjungi:
Kepada seorang pelupa, tulisnya,
kukirimkan sebuah hari tanpa peristiwa istimewa
Beserta mimpi yang seketika lindap saat membuka mata
Tuan, hidup tanpa ingatan barangkali adalah semacam kutukan
Tapi lupa dengan mudah sungguh sebuah keberuntungan
Maafkan aku jika tak sempat menyapamu di suatu siang

Aku berhutang pada kulit kepala yang lama tak dibasuh
Ketombe tumbuh, seperti anak-anak lokan di rambut lusuh
Bergulir seumpama salju pertama malam natal kesekian
Memucatkan bahu sampai lengan, sebentuk landai bebukitan
Tuan, hidup itu seperti hadiah natal
Bungkus kado boleh merah, biru, ungu atau merah jambu
Kertas warna apa pun kau suka, tapi isinya tetap saja rahasia
Dan bila ingin menyingkapnya
Mesti kau sobek dulu itu kertas warni-warna

Aku berhutang pada sepasang sandal yang setia di teras depan
Mereka memanggil-manggil namaku sejenak selepas hujan
Merengek minta diajak jalan-jalan dan mandi kubangan di cerukan
Sandalku malang tak tahu, saat-saat seperti ini tanah menjadi penipu
Senang memerosokkan tungkai-tungkai yang lengah dan lugu
Tuan, pada sepasang sandal ada kesetiaan
Kecuali untuk melempar kucing, sebelah sandal bakal dilupakan
Tuan, pada sepasang sandal ada pengabdian
Tak pernah menolak kaki, walau berkutu dan panuan
Seperti budak, teman sandal cuma kotoran

Aku berhutang. Penghutang paling bangkrut
Pada genteng yang retak dan rumpang berlubang
Setiap lewat angin kencang terdengar siulan panjang
Suara malaikat sedang tegang, terbang tak tenang
Menunggu saat tepat menjemput nyawaku pulang
Air hujan merembes dan jatuh di loyang kuningan
Seperti detak jantung terhukum menuju tiang gantungan
Tuan, tahukah mengapa orang-orang gemar menabur bunga,
Menyalakan dupa dan membakar banyak kemenyan di makam
Sebab seperti hujan hari pertama, kematian berbau teramat tajam
Perlu menyamarkan bau itu agar tak jadi hantu menjelang malam

Makassar, Januari 2008