Kamis, 15 Mei 2008

Di Atas Makam

DAPAT didengarnya kicau burung-burung sedang bercinta di dahan-dahan pohon kamboja,
sementara pohon itu satu demi satu melepas bunga-bunganya yang tak lagi remaja.

Dan setelah rebah di tanah, bunga-bunga itu dengan sedikit ragu menyapa rumput-rumput liar yang tumbuh tak jauh dari tempat mereka jatuh.

Tapi rumput-rumput bergeming walau menyangka bunga-bunga itu adalah para peri bersayap terbelah lima yang melayang anggun dari angkasa entah untuk alasan apa.

Rumput-rumput bertubuh kerdil itu telah hidup merana terlalu lama; Tak punya waktu untuk bicara, bertanya, bahkan sekadar mendongak ke angkasa.

Sebab miskin benar tanah yang mendekap akar-akar mereka, sebab sari-sari kesuburan telah sekian tahun menguap disesap pohon kamboja yang lebih kuasa, lebih raksasa.

Di atas makamnya, rumput-rumput kerdil berjumpa bunga-bunga tua, tapi bahkan tak satu percakapan pun menyebut namanya atau bertanya mengapa begitu lama dia tak dikunjungi sesiapa, mengapa begitu lama di makam ini tak terdengar ratapan atau doa.

Dia, yang sedang terbaring sesak di rahim makam gelap senyap itu, tak tahu namanya telah lenyap dari batu nisan setelah dilunturkan oleh tahun-tahun dan hujan.

Makassar, Mei 08

Selasa, 06 Mei 2008

Pesan apa?

:Ambun

Di tepi meja makan sebuah restoran
aku genggam jemarimu yang sepuluh
seraya bertanya sungguh-sungguh:
"Pesan apa untuk ulang tahunmu yang
kesekian ini?"

“Sepiring mie ayam, sekotak chicken nuggets,
dua bongkah grill burger dan lima potong pisang goreng.
Eh, tidak! Jadikan sepuluh. Jangan lupa kopi toraja
tambah puisi sebait saja.”

“Hah! Sebanyak itu?”

“Ya tentu saja. Saya kan sedang diet.”

Makassar, Mei 2008

(Maaf Ambun, saya tidak terbiasa bikin puisi-puisi romantis belakangan ini)