Selasa, 18 September 2007

Cinta yang Bersahaja dalam Kesederhanaan Sajak Pakcik Ahmad

PAKCIK AHMAD, belum begitu lama aku mengenalnya. itu pun baru sebatas bertemu di dunia maya--lewat blog. menikmati sajak-sajaknya yang ringkas namun padat membawaku kembali belajar filsafat. terutama filsafat cinta.

simaklah sajaknya berikut:

Dua Belas

selamanya cinta sangat mudah dipahami
pada batu yang menjadi dewasa oleh tetesan air
atau sumbu yang langka di bara lilin

: mengapa mata kita masih saja menjadi tuli ?


*ciputat 040807 ~ 12 tahun kami

---------------------------------------------------------------------

selamanya cinta sangat mudah dipahami


dengan berpisaukan larik ini pakcik telah berhasil melakukan dua hal; mematahkan pameo tua: love is complicated-- cinta itu rumit--, sekaligus membuatku merenung lama. jika ia sangat mudah dipahami, lantas mengapa persoalan cinta bagiku masih juga teramat sukar dimengerti? nyatanya cinta tak dapat dibahas secara matematis, diuji klinis dan dipaparkan menggunakan metode-metode saintis. ketika cinta coba dibawa ke dalam majelis ilmiah, esensinya sontak mendadak kering. dan ia bukan lagi sesuatu yang teramat elok dan manis. pendeknya larik ini memunculkan sebuah konklusi: cinta yang tak bisa dipahami adalah cinta yang sama sekali tidak dijalani.

pada batu yang menjadi dewasa oleh tetesan air

nah! untuk memahami cinta, pakcik kemudian memintaku belajar pada batu yang "dewasa" oleh tetesan air. tetes demi tetes air yang mengikis membentuk ceruk pada batu. sekilas si batu terlihat merana. namun pakcik sekali lagi membuatku tercenung. ia memunculkan sebuah fakta baru, bahwa ceruk pada batu adalah sebuah pertanda kedewasaan. seperti jakun pada lelaki dan payudara untuk perempuan. di sini bentuk fisik tak menjadi penting. pakcik berusaha memperlihatkan kedewasaan yang tangguh pada batu yang didera tetesan air terus-menerus.

atau sumbu yang langka di bara lilin

luarbiasa! sudut ini terlihat begitu memukau. dan jika seseorang menafsirkannya secara dangkal niscaya si penafsir akan terjungkal. bayangkanlah cinta lebih mudah dipahami pada sumbu yang dilahap bara lilin, ketimbang pijaran bohlam dengan kawat tungstennya yang tahan panas. jelas pakcik berusaha menitikberatkan pada persoalan pengorbanan. agar lilin terus menyala, maka sumbu mesti terbakar.

: mengapa mata kita masih saja menjadi tuli ?

ayolah, setelah memintaku belajar cinta pada batu dan sumbu, kali ini engkau balik mengejekku, pakcik. dan bukan hanya aku, banyak orang yang sekadar memahami cinta seadanya harus pula tersindir oleh larik ini. lihatlah, pakcik tidak berkata: hati kita buta dan tuli-- sebuah ungkapan klise yang jika digunakan tentu akan merusak sajak ringkas nan gagah ini. tapi mata (penglihatan) dan tuli (pendengaran) yang disatukan. mungkin larik ini terlahir gara-gara proses kelahiran cinta itu sendiri; lelaki jatuh cinta lewat mata, perempuan jatuh cinta lewat telinga. sebuah larik yang mengingatkan kita lagi akan cinta yang universal. bukan soal lelaki yang jatuh cinta pada perempuan atau pun sebaliknya.

*ciputat 040807 ~ 12 tahun kami

terima kasih pakcik, ketimbang mengguruiku soal cinta, alih-alih kau memintaku belajar pada batu dan sumbu. dua jenis benda sederhana yang jarang dibahas oleh sajak. pesan moral yang barangkali: jika kita berpikir secara sederhana, belajar lewat hal-hal sederhana, maka sesuatu yang rumit akan terlihat lebih bersahaja.

tentang pakcik: Entah kekuatan magis apa yang menyelipkan mantra dan jampi-jampi ke diriku sehingga kata begitu menyihir. (aku cuma menemukan tulisan ini di blognya.)

1 komentar:

  1. Jamil,

    Terima kasih telah bersusah payah merajang "Dua Belas" ku..
    Alhamdulillah, jika bermanfaat.

    salam cinta !
    pakcik Ahmad

    BalasHapus