Sabtu, 03 November 2007

ju panggola

: si pemanggil air

/1/

keriap udara yang membakar ubun-ubun itu mengingatkanmu pada suatu tempat di mana panas dan beku nyaris menyatu. kau jumpai seorang muda sedang menyesah adiknya. bocah kecil yang terus merengek dan merengek. saat itu, para tukang teluh belum turun dari puncak tilongkabila.

"apa yang kau minta pada pasir," tanyamu. "lapang ini teramat kosong. tinggal rerumputan yang kemarin masih terhampar dan hari ini sedang terbakar."

pemuda itu tak menjawab. hanya leleh airmatanya menggenapi pertanyaanmu dengan bayangan tentang duka yatim-piatu. "dari tanah sendiri kami terusir, dan yang menjawab kami hanyalah pasir."

dan sembari berharap tuhan belum pergi, kau menyeluk kantong jubah lusuhmu. mengeluarkan sepotong ranting kering lantas menghujamkannya ke atas tanah yang lereng dan miring. potongan ranting hadiah dari seekor induk murai setelah kau menyelamatkan sarangnya.

dari lubang bekas hujaman itu, memancur air yang berkeloceh seperti oceh bayi-bayi murai kelaparan. "berhentilah menangis dan tak perlu mendidihkan air," pesanmu. "karena air ini jauh lebih hangat daripada airmatamu."

/2/

"berhentilah dulu," ujarmu seraya mengusap punggung lembu itu. "berhenti dan tinggal sebentar di tempat ini. aku akan mencari buah-buahan hutan paling segar. paling manis. buat makan kita.

"berhenti dan biarkan iring-iringan semut itu lewat. mereka tak kenal kau, tak kenal aku, pula tak kenal perjalanan kita. yang mereka kenal adalah sang ratu yang mesti diberi makan, dan bayi-bayinya yang malang.

"berhentilah di sepotong perjalanan yang hampir tanpa tujuan ini. kudengar, di dusun seberang, wabah kusta menyerang. dan sumur yang bertahun-tahun tak kesiur. semoga dalam sekali lenguhan, kau mampu memanggil kelopak mata air yang terkatup itu, agar kembali membuka. dan dengan airnya aku akan membasuh muka-muka yang luka.

"jadi tinggallah supaya aku dapat membawakanmu buah-buahan hutan paling ranum. paling bernas. agar kakimu tetap kukuh di perjalanan ini, dan lidahmu dapat melenguh di dusun nanti. biarkan iring-iringan semut itu lewat. karena mereka tak kenal kau, tak kenal aku, tak kenal perjalanan bahkan tujuan kita. yang mereka kenal, mungkin, adalah hidup yang telah ditakdirkan tanpa cinta."

/3/

anak-anak senja baru saja melukis layung, saat kau tiba di bukit itu. menemukan sebuah liang yang kelamnya lebih kelam dari campuran dawat dan malam.

miris. isi liang itu kau tatap tiada. dengan tatapan seorang pelupa tatkala menemukan kenangannya terkubur di bawah tumpukan kotoran yang terbuat dari gulungan mimpi buruk.

"mengapa tiap sumur yang kutemui selalu saja tanpa air," dengusmu sambil masih percaya tuhan belum mangkir. "air...air, bila kau ingin berguna, biarkan tubuhmu memberi minum para musafir."

dan air itu menyahut panggilanmu. membuncah seperti cermin lebar yang terus melebar. sampai di bibir liang, menyapa seorang tua yang menyanyikan melankolia untuknya. "ah, betapa lezat dirimu. jadilah lebih mulia dengan memberi minum hutan dan isinya."

lembumu tak pergi ke mana. satu kali, dia kitari bukit ini. dan air mengikuti tilas-tilas kakinya, seperti anak kecil mengejar punggung bapaknya yang bakal pergi berperang, yang setelah bertahun-tahun mungkin tak akan pulang.

senyummu lebar dan terus melebar, saat perjalanan air berhenti di titik mula. nanti, besok pagi, akan kau temukan pantulan matahari di sekeliling bukit yang telah berisi danau itu.

/4/

padaku, kau mengaku, tak sedang menunggu seseorang ataupun sesuatu. tapi nyatanya banyak yang datang dari utara. bersimpuh di kakimu yang terkelampai menghadap selatan. kau tak sedang menunggu seseorang, tapi nyatanya, banyak yang menangis di nisanmu dan membuat mukim di atas makammu.

mereka datang meminta sesuatu yang lebih abadi dari ladang-ladang gembur tempat tumbuh sayur-mayur subur.

lantas akan kau beri apa pada mereka. sementara kau hanya seorang pemanggil air yang fakir. bahkan, saat kau seharusnya sedang bersenda-gurau dengan tuhan, airmata masih merambati helai-helai benang di jubah lusuhmu. ah, airmata. kepadanya kau tak pernah suka sekaligus tak pernah lupa.

makassar, november 07


Tidak ada komentar:

Posting Komentar