Rabu, 21 November 2007

Ruang Istirah dalam Sajak Inez Dikara

Kita banyak menemukan penyair yang lihai bersajak pendek, namun sering kali terjungkal dalam guratan sajak-sajak panjang. Sebaliknya pun begitu.

Menulis sebuah sajak pendek lebih mudah ketimbang membuat yang panjang, inilah kesalahan yang telah lama kaprah dalam benak masyarakat awam. Sajak pendek bagaimanapun memiliki sisi-sisi yang tak dapat diabaikan. Menuliskannya tak berarti lepas dari bahaya. Salah-salah, penyair dapat terjebak dalam kedangkalan berbahasa. Secara gamblang saya berpendapat, kekuatan sajak panjang ada pada narasi, sedang kekuatan sajak pendek terletak dalam susunan kontemplasi. Sekali lagi, kalimat yang baru saja saya sampaikan tadi adalah sebuah pendapat yang belum layak dijadikan patokan.

Dalam ranah persajakan kontemporer indonesia, cukup ramai nama-nama penyair yang dikenal terampil menggunakan majas dan matra dalam berbagai metode, guna mencipta sajak-sajak pendek yang gurih. Beberapa, seperti Joko Pinurbo, gemar menggunakan ironi-ironi segar. Sementara Ook Nugroho atau Raudhal Tanjung Banua misalnya, aktif mencipta kesan-kesan metafisik. Di lini terakhir, segelintir penyair lainnya masih belum bosan mengolah tema-tema lama. Lanskap.

Inez dikara adalah salah satu dari segelintir itu. Sajak-sajaknya kebanyakan berawal atas kekaguman terhadap situasi alam sekitar. Saya memang belum sempat mewawancarainya secara langsung, tapi kesan itu acap saya tangkap lewat beberapa sajaknya.

Misalnya satu sajak di bawah ini:

sebuah galeri di sudut kota
gending jawa dan
kursi-kursi menyendiri
di halaman
meredup lampu-lampu dalam kurungan

malam begitu dahaga
ia coba teguk segala ingatan

(Sogan Village, Inez Dikara)


Rasakan usaha sang penyair memindahkan suasana malam yang visual dalam sepotong sajak yang literal. Penyair benar-benar bicara soal galeri di sudut kota, bukan yang lain. Tentang sesuatu, bukan seseorang. Sebuah sajak pendek yang kembali pada fitrahnya; tidak antroposentris, melainkan kosmosentris.

sebuah galeri di sudut kota
gending jawa dan
kursi-kursi menyendiri
di halaman
meredup lampu-lampu dalam kurungan

Tak perlu bertanya, sajak ini tentang 'kota' mana. Sebab selanjutnya, 'gending jawa' telah memberitahukan pembaca tempatnya. 'Galeri' kemudian menyempitkan mata pembaca sebelum liar meraba-raba. Semakin sempit ketika Inez menyajikan 'kursi-kursi', 'halaman', berikut 'lampu-lampu' lengkap dengan 'kurungan'-nya.

Sekarang, pembaca tinggal memilih, benda mana yang ingin disentuh. Saya pribadi akan memilih kursi sebagai perlambang rasa nyaman, tempat perenungan, atau wahana istirah yang damai. Ingin memilih lampu-lampu yang redup pun tak mengapa, meski ia terlihat suram. Jelasnya, inez membebaskan pembaca. Inez menghadirkan segala yang pernah tampak di matanya.

Lantas, di mana letak kontemplasi sajak ini? Simak lanjutannya:

malam begitu dahaga
ia coba teguk segala ingatan

Anda telah duduk? Sudah merasa nyaman dengan kesunyian? Dengan keremangan? Sekarang waktunya bersulang bersama malam. Malam yang dahaga. Malam yang haus akan ingatan. Apapun warna ingatan itu. Silahkan duduk dan merenung-renung sendiri. Gali kembali sumur ingatan anda sedalam-dalamnya. Sekarang, bagilah kenangan dan ingatan itu dengan malam. Malam yang dahaga.

Alih-alih memunculkan sebuah kontemplasi penting dalam sajak, Inez malah mengajak pembaca berkontemplasi lebih dalam. Bukan sesuatu yang disodorkannya matang-matang, tapi sebuah jalan untuk mencapai titik puncak perenungan. Itulah salah satu fungsi sajak atau puisi. Sebuah sajak mestinya rendah hati. Tidak sok berilmu dan menggurui (atau membodohi) pembacanya. Dengan mengikuti gaya inez bercerita lewat sajak, kita terdorong untuk merenungkan sesuatu melalui jalur yang sudah dibangun. Semuanya, termasuk para pemalas yang apriori.

Tak perlu saya berkoar-koar banyak soal rapihnya struktur fisik sajak ini. Seakan sengaja, semua benda-benda kongkret diletakkan larik per larik pada bait pertama, /1/ galeri, /2/ gending jawa, /3/ kursi-kursi, /4/ halaman, /5/ lampu-lampu. Lantas menumpuk kesan malam yang bersinestesia dengan indera lidah (dahaga) pada bait kedua. Dengan bentuk seperti ini, pembaca benar-benar diberikan jeda untuk setelahnya merenung lagi lebih dalam.

Jelasnya, sajak-sajak inez bukan sebuah pergulatan yang melelahkan, melainkan peristirahatan yang menenangkan. Tak perlu berpikir rumit untuk mencerna sajak-sajaknya. Cukup merenunglah di suasana paling nyaman. Lebih dalam.

(selengkapnya tentang Inez Dikara)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar