Kamis, 15 November 2007

tamu terakhir

baru saja dia tiba dan menurunkan muatan terakhir dari kereta, saat disangkanya sesosok peri bermata biji kenari sedang menunggunya di salah satu balkon dekat jendela. tapi tidak; gadis itu bukan peri, tidak pula menunggunya atau sedang menunggu sesiapa. gadis itu sedang membidik isyarat badai yang datang tersaruk dan bergetar. sambil menghitung kertap bintang yang melompat-lompat di tingkap.

dia lalu membayangkan gadis itu sebagai hantu masa lalu. tapi dia tak tahu masa lalu telah berkerumun di dada gadis itu sejak lama, lantas tersaput sekaligus pada satu waktu. dia tak tahu gadis itu telah menyesapkan banyak ingatan, banyak kenangan dari lelaki-lelaki yang pernah mencumbu dan mencoba melonggarkan jejalin temali korsetnya yang sutera. dia tak tahu gadis itu yang telah meredup-lindapkan lampu rumah dan lampu jalanan di banyak kota. termasuk kota asalnya sendiri, yang dibulai senja terlalu lama.

kali ini, dugaannya tepat. gadis itu sedang berharap bau laut dapat mengobati sakitnya yang larat. setidaknya gadis itu ingin mati tanpa merana. dikubur di tanah masir, antara lapisan karang tak jauh dari kumpulan plankton menyala dan mengambang. tapi sakit macam apa dia tak paham. gadis itu cuma mengingat satu malam ketika jiwanya memilih karam, karam dan tenggelam.

aroma badai makin pekat. tapi gadis itu masih bergeming wajahnya semburat. lelaki dari kota meraba-raba kantong mantelnya yang menyimpan banyak alamat serta secarik peta di mana penginapan ini tak tercatat, terlalu tabu untuk disebut dan diingat. tapi lelaki itu telah berjalan teramat jauh, mencari tempat seperti yang diceritakan kekasihnya lewat surat: "thomasku sayang, di sini, setiap ucapan adalah laut, dan setiap hari adalah kiamat."

makassar, november 07


(sebuah interpretasi bebas dari novel the ocean sea, karya alessandro baricco)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar