Rabu, 24 Oktober 2007

Danny Boy

dengan bahasa tak dapat kupahami
kau mengabarkan kedatanganmu
pun dengan bahasa tak kau mengerti
aku mengisyaratkan sesalku
:kau datang terlambat
sangat terlambat bagi seorang yang sedang
menanjak usia sepertiku

kau menatapku asing seolah bukan darah
sama yang mengalir di tubuh kita
dan kau tersenyum seolah aku tak
memiliki senyum serupa itu
senyum yang sesekali kau sembunyi saat aku
mengulur tangan buat sekadar menggendong
atau meremas pipimu

walau tak benar-benar membenci gelap
seperti kau, aku menyukai cahaya
cahaya seperti benda ajaib
yang hinggap di matamu lewat cara teramat gaib
tapi sungguh, aku tak benar-benar menyukai
matamu yang persis mata ayah itu
dan dengan bahasa tak kau pahami
aku akan mengatakannya padamu

Gorontalo, Oktober 07

Selasa, 23 Oktober 2007

riwayat tiga pengeran

/Ilato/

aku tak tahu suara apa menuntun tanganmu mengusap tubuhku yang lepuh. suara sama membimbingmu memilih hidup sebagai pertapa kembara. dengan berkelana menunggang lembu tanpa pelana, telah kau temukan arti duka pada iring-iringan semut yang tak tega kau injak sengaja.

aku selalu ingat wajahmu yang putih saat kau lalu di tengah kampung. seolah buat menjawab teka-teki yang belum rampung: "masa lalu buatku adalah rumah yang tak dapat lagi kujadikan ujung pulang, dan seorang ibu bagiku cuma pecahan kulit telur yang tak cukup indah buat dikenang."

aku memangilmu kilat, bukan pak tua seperti lazimnya. memanggilmu seperti air sumur yang mampu membaca bekas-bekas tapak kakimu yang kerut; belulangmu renta dan cuat yang seakan mampu membaca maut.

jadi suara-suara apa yang mengajakmu menggali bakal makam sendiri? makam yang kelak mendaki lereng bukit supaya orang-orang tak lagi datang meminta dan menjadikanmu nabi.

/Polamolo/

lama perempuan itu menunggu: berharap kau segera menanggalkan topengmu yang burik dan jubahmu yang sisik. agar setelah itu kau sudi mengajaknya tidur di balik kelambu yang risik.

lama perempuan itu mengenang: kaki-kakimu yang dulu lentur memainkan raga. menyepak bebola rotan sampai melenting tinggi lalu jatuh tepat di pangkuannya. perempuan--yang mula kau cinta sejak mengintipnya berenang telanjang di tengah sebuah telaga yang lengang--itu berharap kau selalu puisi seperti saat meminangnya dengan mahar masa lalumu yang lamur.

lama perempuan itu menduga: mungkin kau masih menyimpan dendammu yang pandir pada penduduk negeri yang menjadikanmu pangeran terusir. hanya karena kau lupa menyisihkan untuk mereka sepotong tebu paling manis. paling air.

lama sekali, perempuan itu merencanakan hal ini: menantimu pulang sampai esok pagi. untuk kemudian, saat kau tidur, menyelinap dalam kamarmu yang rahasia. mencari topeng, jubah dan dendammu yang usang lalu membakarnya. perempuan itu menginginkan: malam berikut tak lagi dihabiskannya dengan membeku sendiri di kamar ini.

/Limonu/

seorang bocah dari negeri tanah putih menghadap ayahnya yang raja:

"ayah, aku adalah anakmu dari perempuan yang telah kau lupa. perempuan yang menunggumu sekian lama walau dia tahu kau pasti enggan kembali padanya.

"ayah, lihatlah rambutku emas seperti rambutnya. mataku tenang seperti matamu. rambut dan mata yang pernah bertemu di satu hulu, dan kini berkumpul di tubuhku.

"ayah, engkau tak perlu menyanggah. sebab aku tak akan membantah. sebab ibu--perempuan itu--telah meyakinkanku sejak awal, keturunan biru sepertimu tak mungkin mengakui seorang anak dari muasal tak dikenal.

"ayah, tak usah aku kau rengkuh. pula tak perlu aku kau bunuh. karena aku hanya singgah barang sebentar. cuma untuk tahu, di mana tinggal lelaki yang ingin kau penggal. agar aku dapat membawa pulang kepalanya untuk kulemparkan di kakimu."

makassar, oktober 07

terinspirasi dari nama-nama pangeran dalam cerita rakyat gorontalo.

Senin, 22 Oktober 2007

benda-benda buat pernikahan kita

aku harus mengumpulkan benda-benda berikut sebelum menikahimu

PAHANGGA-- sampai limapuluh bahkan seratus tahun nanti
kita tetap akan butuh penyangga buat bangunan ini
seperti kapal yang butuh tiang layar teguh
dari karas kayu tangguh biar terlewat jutaan kayuh

pondasi kita terpacak di tanah masir
mudah jungkir bila ditelan pasir
tentu kita benar-benar butuh lebih dari seruas
batang-batang bambu lentur yang tahan air
sebagai penyangga dari datangnya gempa dan banjir
agar bangunan ini tetap tegak untuk limapuluh
bahkan seratus tahun akan datang

***
BANDAYO-- bercinta di bawah matahari
membuat kulit hitam terbakar,
mata perih dan kita tak lagi dapat menatap
wajah satu sama lain

maka aku selubungi saja langit itu
dengan sebentang kain dari baju pengantin
dan kita bercinta sampai leleh rerumputan
sembari mengira-ngira ada berapa banyak anak kita nanti
sepuluh, sebelas atau berapapun yang kita ingini
sayang aku dan kau belum dapat menghitung bintang malam nanti
karena baju pengantin kita masih mengelambu di pelipis langit

***
PUADE-- pernah kau memintaku membuatkanmu tempat duduk
dengan sandaran dari serpih langit dibesarkan pelangi
dibubuh bintang-bintang yang tumbuh
serupa wajah anak gadis menstruasi pertama kali

namun aku hanya tukang kayu dan bukan gembala peri
tak dapat seenaknya menggeser langit berubah posisi
atau sebaiknya, aku buatkan saja untukmu
tempat duduk dengan sandaran dari alir sungai yang lempang
tanpa bebatu agar tubuhmu mampu mengambang
tapi, hati-hati, ada banyak jeram sembunyi di alir lengang
memerosokkan kakimu sampai nafas habis diisap mambang

***
BILIU & SUNDI-- ini ada sepasang, satu untukmu satu untukku
pernahkah kau dengar sebuah dongeng tentang bulan dan matahari?
kata ibuku mereka dulu sepasang kekasih
bukan saudara sedarah seperti terkaaan banyak orang

ini ada sepasang, pakaikan paluwala di kepalaku
dan biar kusanggul juntai demi juntai rambutmu
mengapa sedih pengantinku? kita bukan bulan dan matahari
pula tak sedang menyesali malam maupun siang ini
apalagi kita sepasang kekasih dan bukan saudara sedarah
aku telah jatuh cinta pada alismu yang tak dicukur rapi
jadi biarkan aku menikmati tuah benda-benda
yang susah-payah aku kumpulkan buat pernikahan ini

makassar, oktober 07

catatan: benda-benda di atas dipakai dalam upacara pernikahan adat gorontalo
-pahangga: penyangga
-bandayo: peneduh
-puade: pelaminan
-biliu dan sundi: baju pengantin
-paluwala: semacam tutup kepala berbentuk tanduk untuk pengantin pria

Minggu, 21 Oktober 2007

mimpi yang ramai

semalam tidurku terganggu oleh mimpi yang ramai
mimpi suara jemari perempuan mengetik serabutan
di atas tombol-tombol keyboard komputer karatan

seperti gerombol laron,
tiba-tiba ada banyak kata berhamburan di mataku
kata-kata mengeja sestanza puisi tua
yang telah dilupa banyak penyair muda
tiap baitnya, sepotong demi sepotong
membentuk sketsa kepala, rambut, mata, mulut
leher, lengan, bahu dan
jemari seorang perempuan sedang mengetik buru-buru

"aku sedang mengetik selembar kisah yang hilang," ujarnya
"tentang kau yang ingin sekali membakar kedua bahumu
supaya hangus sepasang malaikat yang tiap hari selalu jadi beban untukmu"

makassar, oktober 07

buat chau

banyak orang, baik yang cinta
maupun benci padaku, berkata:
kau terlalu muda untuk kubikinkan sajak
mungkin kata-kata teramat berat buatmu
menari pun tak mampu
bahkan setelah kaki-kakinya tak lagi
berselimut sepatu

bukan salah angin kata-kata tersaput
sisanya tinggal sebagai jejak-jejak kabut
bukankah angin enggan berbelok dari haluan yang jujur
pula tak suka menyela antara mata sedang tidur

"adik, apakah bohong dan pura-pura adalah dua perkara berbeda?"
aku masih harus menanyakan itu walau kau menjawab:
"aku mesti berhenti menangis di depanmu"

jangan salahkan angin, hujan atau airmata
sebab mereka enggan berbelok dari haluan yang jujur
dari kata-kata yang jarang tidur
"apakah aku mesti berhenti bohong dan pura-pura?"

makassar, oktober 07

tumbilotohe*

langit yang kau ceritakan tempo hari
malam ini menjelma hamparan kosong yang sunyi
para malaikat telah meminjam cahaya dari bintang-bintang renta
untuk disemai ke tubuh bumi

perlahan, cahaya-cahaya itu tumbuh,
berkecambah dan kau dapat memanennya esok hari

gorontalo, oktober 07

*perayaan pelita. setiap malam ke 27 bulan ramadhan (yang dipercaya sebagian besar orang sebagai lailatul qadar) di setiap rumah, di gorontalo, penduduk menyalakan pelita. membuat kota ini dipenuhi cahaya sekaligus asap. dan minyak tanah pun semakin langka.

bandara, sebuah ruang tunggu

tak ada sesuatu pun yang bisa aku tinggalkan untukmu
tidak kecuali musim hujan yang perlahan menguap di wajahku

malam diam, mungkin berpikir
: mengapa orang-orang terlihat sibuk saat ini
"permisi, pesawat berikut berangkat jam berapa?"

pada kepulangan kali ini, aku harap waktu
tak menjadikanku asing di hadapan masa lalu
dan senyum gadis-gadis tetap sederhana
seperti nyala padma di kuncup hidung mereka

malam diam, masih meraba
"apakah tujuan kita sama?"
"tidak, aku sedang menuju jawaban lain
untuk pertanyaan berbeda."

ah perjalanan seringkas ini
untuknya, barangkali tak ada sesajak pun menjadi

makassar-gorontalo, oktober 07

jalan kota

di kota ini, jalan-jalan meleleh
seperti kenangan yang benci tubuh sendiri
sehingga tiap pejalan-kaki mesti berjalan perlahan
amat hati-hati

entah di retakan jalan mana
pernah aku tanam ingatanku
tentang rimis-rimis cahaya dari matamu
tentang suatu waktu
ketika jarum jam sempat sejenak tak berdetak
setelah sececap ciuman yang kau titipkan di bibirku
menemaniku pulang dengan kedua tungkai yang layu

setiap kelok di jalan-jalan kota ini
mengingatkanku pada alir sungai
di rambutmu yang urai
pada kenangan yang tiap kali kau potong
akan bertambah panjang, semakin memanjang
dan semakin nakal menjawil punggungmu

suara seperti langkah-langkah berat tercekat malam ini
adalah suara rerontokan hujan yang melanggar janji
pada kemarau yang telah menentukan bulan dan hari
sementara di dadaku ada cemas membongkah-batu
cemas akan ingatanku yang mungkin tengah meleleh
di suatu retakan. setelah sekian lama aku abaikan


gorontalo, oktober 07

Selasa, 02 Oktober 2007

riwayat kata

jangan tanyakan padaku, adik
dari pohon mana dedaunan kata dipetik
lalu menjelma sajak-sajak kemerisik

jauh sebelum terlahir di bibir penyair
kata-kata telah berkelindan di jari-jemari
para penyihir
menghasut suami-suami agar berpaling
dari istri-istri yang pandir

seperti hantu, kata-kata pernah bersembunyi
di puri-puri tinggi tak berpenghuni
memang, sejak dulu kata-kata bukan milik petani
pongah dan tak sudi menjejak tanah

benar sekali, adik
kata-kata paling purba adalah nama
bagi benda-benda agar terdengar berbeda
tak perlu telunjuk untuk membedakan
mana perdu mana randu
mana palung mana gunung
kata-kata telah memberi mereka
masing-masing sebuah nama
dan biarlah telunjuk membantu
jemari lain bekerja

adik, adik, adik
jangan sekali-kali bertanya padaku
tentang asal mula sebuah nama
bukankah adam dan hawa pun
adalah sepasang nama?
dan tentang kata yang mereka ucap
kala bertemu kali pertama
sungguh, bagiku itu masih jadi rahasia

makassar, 01 oktober 07