Minggu, 30 September 2007

mencoba menerjemahkan neruda

PABLO NERUDA, pertama kali mengenal penyair Chili peraih nobel sastra tahun 73 ini adalah lewat kumpulan sajak dan surat cinta yang disusun Paul B. Janeczko. Mulai suka ketika membaca sajak-sajaknya di blog sejuta puisi milik Hasan Aspahani (HAH). Semakin suka ketika aku coba memelajari soneta. Dan jadi tergila-gila setelah mendiskusikannya dengan Aan Mansyur.

Semula aku cuma berniat mengutip beberapa sajaknya yang telah diterjemahkan HAH untuk kusisipkan dalam cerpen--yang jika memungkinkan bakal jadi novel--ku. Tapi aan lantas melarang. "Kenapa tidak menerjemahkannya sendiri saja?" katanya. Hmm, ide yang tak begitu buruk. Sekalian untuk mengasah diksi-diksiku.

Karena itu, hari sabtu (28/09/07) kemarin, aku putuskan menjelajahi situs poem hunter buat mencari sajak-sajaknya yang mungkin bisa aku terjemahkan. Sulit memang, karena semuanya tampak pantas untuk diterjemahkan dan dinikmati. Namun dari semuanya aku menemukan satu yang paling aku sukai.

metode penerjemahan

Dalam prosesnya, penerjemahan ini bukan tanpa kesulitan. Sebab penerjemahan yang dilakukan terlalu kaku akan membuat sajak terasa kering. Menerjemahkannya secara serampangan pun akan membuat hasilnya berantakan. Aku yakin setiap bahasa memiliki rasa sendiri-sendiri. Seperti masakan. Tentu lidah kita akan terasa asing dengan bumbu-bumbu yang tak lazim di negeri kita, walaupun di mana-mana masakan adalah sama saja; buat ditelan, dikunyah, lantas masuk perut setelah singgah sejenak di kerongkongan. Sajak begitu pula. Ada kesan rasa yang berbeda antara orang yang berbahasaibu spanyol, inggris ataupun indonesia.

Sebab itulah, dengan kenekatan yang mungkin cukup gegabah, aku membumbui sajak asing ini dengan beberapa jenis 'rasa' yang aku pikir dapat diterima orang indonesia. Menerjemahkannya pun tidak kata per kata atau larik per larik. Baca semua dahulu dengan terjemahan seadanya, lalu tangkap imaji yang berusaha disodorkannya (Neruda) dengan menggunakan interpretasi sendiri. Baru kemudian, dengan berpenakan interpretasi tersebut aku menuliskan kembali sajak ini. Itu pun menurutku masih jauh dari separuh sempurna. Karena sajak di bawah ini aslinya berbahasa spanyol, bukan bahasa inggris, yang menurut aan, sudah mengalami banyak bias dan distorsi ketika diterjemahkan(karena perbedaan rasa itu tentunya).

Sekali lagi, yang aku lakukan ini adalah sebuah usaha yang sifatnya coba-coba. Punya kemungkinan berhasil maupun sebaliknya, gagal total. Dan karena ini percobaan pertama (dalam hal menrjemahkan sajak asing), kemungkinan gagal tentu akan lebih besar ketimbang kemungkinan berhasilnya. Sebuah kenekatan yang gegabah.

inilah hasil terjemahan itu:

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini

menulis, seperti ini: malam retak
dan bintang biru bergetar di jauhan

udara malam berkelindan dan bernyanyi di angkasa

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini
aku cinta dia, dan sesekali dia mencintaiku pula

pada malam-malam seperti malam ini, mestinya kurengkuh dia di lenganku
mengecupnya, lagi, berulangkali diselingkup langit tanpa muara

sesekali dia mencintaiku, dan aku cinta dia pula
bagaimana bisa seseorang abai akan matanya yang dalam

aku sanggup menulis larik-larik paling lirih malam ini
dalam renung tak tercapai, dalam rasa ia tak tergapai

menyimak malam larat, bertambah larat sebab dia tiada
dan larik-larik menetes-netes di jiwa
seperti embun di padang rumputan

percuma saja cintaku, menjaganya pun tak mampu
malam retak dan dia tak bersamaku

itu saja. seseorang bersenandung di jauhan. di jauhan
jiwaku larat dan dia tak bersamaku

tatapku mencarinya, sebagaimana aku juga
hatiku mencarinya. dan dia masih tiada

malam sama putihkan pepohonan sama
kita, pada saat sama, tak lagi sama

tak lagi aku mencintanya, sungguh, tapi nyatanya masih
suaraku mencoba mencari udara yang mampu berdenting di dengarnya

asing. perlahan dia menjadi asing. seperti kecupan-kecupanku sebelumnya
suaranya yang andai, tubuhnya yang lampai, matanya yang rinai

tak lagi aku mencintanya, sungguh, tapi mungkin masih
cinta teramat lekas, buat lupa waktu tak bisa diringkas

karena pada malam-malam seperti malam ini mestinya kurengkuh
dia di lenganku
jiwaku larat setelah dia tiada

walau setelah ini tak akan ada luka yang disebabkannya
dan larik-larik ini adalah yang terakhir aku tuliskan untuknya
***

adapun inilah versi bahasa inggrisnya :

Tonight I can write the saddest lines

Tonight I can write the saddest lines.

Write, for example,'The night is shattered
and the blue stars shiver in the distance.'

The night wind revolves in the sky and sings.

Tonight I can write the saddest lines.
I loved her, and sometimes she loved me too.

Through nights like this one I held her in my arms
I kissed her again and again under the endless sky.

She loved me sometimes, and I loved her too.
How could one not have loved her great still eyes.

Tonight I can write the saddest lines.
To think that I do not have her. To feel that I have lost her.

To hear the immense night, still more immense without her.
And the verse falls to the soul like dew to the pasture.

What does it matter that my love could not keep her.
The night is shattered and she is not with me.

This is all. In the distance someone is singing. In the distance.
My soul is not satisfied that it has lost her.

My sight searches for her as though to go to her.
My heart looks for her, and she is not with me.

The same night whitening the same trees.
We, of that time, are no longer the same.

I no longer love her, that's certain, but how I loved her.
My voice tried to find the wind to touch her hearing.

Another's. She will be another's. Like my kisses before.
Her voice. Her bright body. Her inifinite eyes.

I no longer love her, that's certain, but maybe I love her.
Love is so short, forgetting is so long.

Because through nights like this one I held her in my arms
my sould is not satisfied that it has lost her.

Though this be the last pain that she makes me suffer
and these the last verses that I write for her.
***

Jumat, 28 September 2007

kertas resep

: emha

baru saja cinta menghabiskan banyak kertas
saat aku sadar sungai-sungai dalam tubuhku
telah berhilir ke arah yang salah
singgah di tempat mana warna-warna rebah
sehabis jauh berkelana
lantas dibuai hitam yang masih setia berjaga

semalaman ini aku sibuk menjumput kata-kata
yang berlari-berputar-putar di atas kepala
minta dituliskan sebagai sajak di atas kertas
yang tersisa
namun kertas telah habis oleh cinta
dan kertas terakhir seolah mengeluh kedinginan
tak jelas pada lilin ataukah rembulan
"tubuhku yang mudah terempas ini," desisnya
"tak sanggup lagi mendekap rahasia sendirian"

maka biarlah; kata-kata, warna-warna, sungai-sungai
menjadi sajak cinta yang tertunda

sampai aku dapat bertanya padamu:
"adik, masihkah terasa perih itu di perutmu?"

lalu kau mungkin akan balas bertanya:
"kakak, obat macam apa yang dapat mengusir
rasa sakit ini?"

dan aku akan menjawab dengan suaraku yang kertas:
"untuk menghilangkan masam di lambungmu,
berhentilah mengunyah gelisah."

makassar, 28 september 07

Rabu, 26 September 2007

tiket kertas

aku selalu curiga
setiap titik-koma barangkali memiliki pola
huruf-huruf dan angka-angka
adalah kode rahasia
petunjuk di mana kau berada

"tolong beri aku satu
tiket kereta paling laju
mungkin seseorang sedang menungguku
di kota itu..."

ting..tong...ting...tong

calon penumpang yang terhormat
kereta malam supercepat
jurusan kota larat
telah siap di peron empat
sebentar lagi akan berangkat
diharapkan untuk tidak terlambat

tong...ting..tong...ting


"tolong beri satu
tiket kereta paling laju
buatku yang sedang diburu waktu
dan rindu..."

uang kertas

selalu saja saat kita saling tatap
warna-warna itu hadir tetap
: hijau, merah, abu-abu
sesekali ungu bernyala-padam di wajahmu

hijau aku tafsirkan sebagai lumut
tempat langkahmu tergelincir luput
barangsiapa dengan sengaja
meniru, memalsu airmata
atau dengan sengaja
menyimpan serta mengedarkannya
diancam hukuman menangis selamanya

pernahkah kau dengar peringatan serupa?

merah aku tafsirkan sebagai marah
dan abu-abu sebagai tabu
ah, milikku paling berharga
tinggal seonggok lemari tua
tempat menyimpan janji-janji lama
yang tak kunjung kau tepati jua
warna-warna itu timbul-terendap di wajahmu

sesekali ungu menjadi sepi
sepi yang tak mampu aku tafsirkan sendiri

Selasa, 18 September 2007

Cinta yang Bersahaja dalam Kesederhanaan Sajak Pakcik Ahmad

PAKCIK AHMAD, belum begitu lama aku mengenalnya. itu pun baru sebatas bertemu di dunia maya--lewat blog. menikmati sajak-sajaknya yang ringkas namun padat membawaku kembali belajar filsafat. terutama filsafat cinta.

simaklah sajaknya berikut:

Dua Belas

selamanya cinta sangat mudah dipahami
pada batu yang menjadi dewasa oleh tetesan air
atau sumbu yang langka di bara lilin

: mengapa mata kita masih saja menjadi tuli ?


*ciputat 040807 ~ 12 tahun kami

---------------------------------------------------------------------

selamanya cinta sangat mudah dipahami


dengan berpisaukan larik ini pakcik telah berhasil melakukan dua hal; mematahkan pameo tua: love is complicated-- cinta itu rumit--, sekaligus membuatku merenung lama. jika ia sangat mudah dipahami, lantas mengapa persoalan cinta bagiku masih juga teramat sukar dimengerti? nyatanya cinta tak dapat dibahas secara matematis, diuji klinis dan dipaparkan menggunakan metode-metode saintis. ketika cinta coba dibawa ke dalam majelis ilmiah, esensinya sontak mendadak kering. dan ia bukan lagi sesuatu yang teramat elok dan manis. pendeknya larik ini memunculkan sebuah konklusi: cinta yang tak bisa dipahami adalah cinta yang sama sekali tidak dijalani.

pada batu yang menjadi dewasa oleh tetesan air

nah! untuk memahami cinta, pakcik kemudian memintaku belajar pada batu yang "dewasa" oleh tetesan air. tetes demi tetes air yang mengikis membentuk ceruk pada batu. sekilas si batu terlihat merana. namun pakcik sekali lagi membuatku tercenung. ia memunculkan sebuah fakta baru, bahwa ceruk pada batu adalah sebuah pertanda kedewasaan. seperti jakun pada lelaki dan payudara untuk perempuan. di sini bentuk fisik tak menjadi penting. pakcik berusaha memperlihatkan kedewasaan yang tangguh pada batu yang didera tetesan air terus-menerus.

atau sumbu yang langka di bara lilin

luarbiasa! sudut ini terlihat begitu memukau. dan jika seseorang menafsirkannya secara dangkal niscaya si penafsir akan terjungkal. bayangkanlah cinta lebih mudah dipahami pada sumbu yang dilahap bara lilin, ketimbang pijaran bohlam dengan kawat tungstennya yang tahan panas. jelas pakcik berusaha menitikberatkan pada persoalan pengorbanan. agar lilin terus menyala, maka sumbu mesti terbakar.

: mengapa mata kita masih saja menjadi tuli ?

ayolah, setelah memintaku belajar cinta pada batu dan sumbu, kali ini engkau balik mengejekku, pakcik. dan bukan hanya aku, banyak orang yang sekadar memahami cinta seadanya harus pula tersindir oleh larik ini. lihatlah, pakcik tidak berkata: hati kita buta dan tuli-- sebuah ungkapan klise yang jika digunakan tentu akan merusak sajak ringkas nan gagah ini. tapi mata (penglihatan) dan tuli (pendengaran) yang disatukan. mungkin larik ini terlahir gara-gara proses kelahiran cinta itu sendiri; lelaki jatuh cinta lewat mata, perempuan jatuh cinta lewat telinga. sebuah larik yang mengingatkan kita lagi akan cinta yang universal. bukan soal lelaki yang jatuh cinta pada perempuan atau pun sebaliknya.

*ciputat 040807 ~ 12 tahun kami

terima kasih pakcik, ketimbang mengguruiku soal cinta, alih-alih kau memintaku belajar pada batu dan sumbu. dua jenis benda sederhana yang jarang dibahas oleh sajak. pesan moral yang barangkali: jika kita berpikir secara sederhana, belajar lewat hal-hal sederhana, maka sesuatu yang rumit akan terlihat lebih bersahaja.

tentang pakcik: Entah kekuatan magis apa yang menyelipkan mantra dan jampi-jampi ke diriku sehingga kata begitu menyihir. (aku cuma menemukan tulisan ini di blognya.)

Suara-suara Kertas

Sssrr... Sssrr... Sssrr...

Pada air, helai-helai itu mengapung
Mengingatkanku pada mata paling palung
Pada punggung tanganmu yang menuntunku menangkap capung
Jauh dari laut, jauh dari kolam
Tempat capung istirah merendam tungkai
Aku jadi ragu menitip rindu lewat musim yang muai

Ssshh... Ssshh... Ssshh...

Pada udara, helai-helai itu membelai
Mengingatkanku pada urai paling lambai
Pada bait-bait syair yang kau baca buat semilir
Buat sungai yang berhenti mengalir
Batu yang cadas, kayu yang karas
Dan telur-telur unggas urung menetas
Seperti sawah terlunta di dataran panas

Ssskk... Ssskk... Ssskk...

Pada tanah, helai-helai itu menjamah
Mengingatkanku pada raut paling ramah
Pada kabut yang saban subuh berkerumun di bubung rumah
Dalam matamu yang palung dan berkabut
Masihkah capung kolam itu terjebak di sana,
Seperti kemarau yang menjebakku di sini
Di sunyi yang teramat jauh dari lautan ini

Makassar, 18 September 07

Senin, 17 September 2007

Ayunan Kertas

Semula, karena tak bertemu hutan
Karena kayu telah rela mengabu
Demi menyulut hidup tungku-tungku
Akar, rotan, belukar, bahkan perdu
Menjelma dipan, tikar, dan selimut lampu
Lantas, dari apa akan aku buat ayunan itu?

Semula, karena membayangkanmu sebagai bebulu
Karena diapung angin dari hulu ke hulu
Pintu ke pintu, dari rindu ke rindu
Punggungmu seolah layangan lepas
Tempat menulis sajak-sajak ringkas
Dan olehnya aku akan membelah kertas
Bakal ayunan buat tubuhmu yang kapas

Semula, karena ayunan mesti bertemali
Karena temali paling lembut adalah sayap-sayap peri
Sedang peri-peri masih sibuk belajar origami
Melipat angsa, menggunting telaga
Membuat sayap yang ujungnya dapat dikuncup-dibuka
Maka aku pilih memintalnya saja
Lalu biarkan temali itu memilih sendiri gayutannya

Mungil, ringan, dan bersayap seperti peri
Ayunan telah sedia berlayar menuju negeri jutaan origami
Naik dan berpeganganlah pada temali
Biar aku mendorongmu dari buritan
Nanti setelah tubuhku menjelma daun
Ganti kau yang mendorong bahuku
Dan saat hujan terlihat bersiap turun
Lipat dan simpanlah kembali ayunan itu

Makassar, 16 September 07

Sabtu, 15 September 2007

Musim yang Ragu

Sebuah perbincangan rahasia
:langit kelabu, pepucuk pohon saat terluruh

Cuaca menunggang ranting-ranting kecil
Dari batang yang rungkuh
Patuh mengayuh tarian angin yang ragu

Ini musim macam apa?
Tak tepat buat menanam benih-benih nyanyian
Yang hangat di tubuhmu

Tinggi, bertambahlah tinggi
Dan kita kan bercinta
Tanpa peduli pada musim pula cuaca

Makassar, 26 Agustus 2007

Kertas dari Sehelai Hari

Selembar kertas yang tercipta dari sehelai hari
Aku tulis namaku di sudut kiri atas
Di bawah kotak persegi
Yang sementara aku kosongkan
Buat namamu jika tak keberatan

Kertas itu terlihat lisut
Seperti malas yang enggan untuk beringsut
Seperti bulu-bulu kakiku yang menghutan

Kertas itu terlihat keriput
Mungkin karena kemarau
Pepohonan enggan berbunga
Apalagi berbuah, apalagi berbagi keteduhan

Namun kertas lisut keriput itu pula yang aku pakai
Untuk menulis cerita
Yang idenya aku rampok
Dari kisah cinta temanku dan pacarnya
Maaf untuk temanku, maaf untuk pacarnya
Aku tak punya kisah cinta yang indah buat dicerita

Tak seperti penulis kebanyakan
Aku tak pernah memulai cerita dari bagian awal
Bukan pula dari bagian akhir
Aku selalu memulai dari tengah
Karena aku terbiasa bangun di pertengahan hari
Mungkin butuh bantuanmu untuk menulis awal cerita ini
Awal hari ini
Karena aku yakin kau selalu bangun paling dini
Untuk sekadar sholat dan mengaji
Sedang untuk akhir cerita
Aku akan minta bantuan teman penulisku
Yang pandai membikin kejutan di akhir
Maaf untukmu, maaf untuk temanku
Hari-hariku tak punya awal dan akhir
Yang cukup pantas untuk jadi seutuhnya cerita

Kertas lisut itu tambah keriput berkerut-kerut
Masih banyak ruang kosong tersisa
Selain pertengahan cerita,
Namaku di sudut kiri atas
Dan kotak persegi yang sengaja aku kosongkan
Buat namamu jika tak keberatan

Makassar, 10 September 2007

Pintu

Kau lihat pintu itu, Adinda?
Dahulu kau datang dari situ
Seragam putih dan kacamata bergagang biru
Serta lingkaran berputar lamat di atas rambutmu
Yang berbau taman sehabis hujan itu

Lingkaran itu mencuatkan duri, menitiskan nyeri,
Sesenggukan tak henti-henti
Seperti mahkota Yesus tatkala disalib sebelum mati
Aku ingin menjadikannya putih
Tidak merah seperti lampion di beranda rumahku
Putih seperti mahkota Yesus tatkala bangkit setelah mati

Kau lihat pintu itu, Adinda?
Ke situ pula kelak kau pergi
Membawa serta bau taman sehabis hujan,
Lingkaran duri yang telah berubah putih
Dan sebuah buku berisi puisi
Tentang cinta, tentang Neruda
Tentang cinta yang mengikat kaki-tangan Neruda

Pintu itu, di sisinya sebentuk lukisan dinding terekat
Lukisan tentang makan malam terakhir Yesus
Bersama murid-muridnya
Sebelum disalib, mati dan kemudian bangkit kembali

Makassar, 10 September 2007

Tanjung Bayang, Pada Warna-warna

Nyala apa yang lebih cahaya
Dari warna-warna yang menimpa
Rapuhnya dedaunan palma?

Hijau berlarut jingga
Jingga besemu kuning
Dan kuning mengubah air
Jadi serpihan emas bergayutan
Di ranting-ranting

Senja telah terperangkap dalam mataku
Tak bisa lari seperti jejak-jejak kaki
Terbenam pusaran pasir kelabu
Mungkin bayangnya lebih dulu
Hadir di tempat ini
Sebagai tubuh perawan rebah
Dijamah gelombang yang berguling gelisah

Di sini, tempat di mana bulan terlahir
Dari rahim terumbu karang ini
Nyala warna-warna pun lenyap
Bersama kepergian para dewa

Makassar, 3 September 2007

Delapan Sajak Pendek Musim Kemarau

(1)

Ada retakan merayapi tanah kering
Berujung pada tangkai randu di gayutan ranting
Batang digoyang buahnya ikut terpanting

(2)

Dan air selokan berwarna cokelat
Membabas kotoran timbul tenggelam, hendak ke mana?
Ke negeri yang jauh, jawabnya

(3)

Terengah, seekor anjing menjulurkan lidah
Siang yang gerah di bawah pokok belimbing
Si anjing singgah sekadar kencing

(4)

Sementara keciap sepasang burung gereja
Merayakan sarang baru; jejalin rumput, akar garing
Walau udara masih hening. Bergeming

(5)

Jemarimu fasih menjumput dedaunan gugur
Tatkala dingin berliur mengerkah senja yang berangsur
Pekarangan kita kembali pulas tertidur

(6)

Dan malam pula yang mengenangkanku
Pada percakapan kita yang sunyi dan dingin
Pada peperangan yang membunuh musim

(7)

Langit agustus, bersih dan lengang
Belati macam apa yang mengiris separuh purnama
Menyisakan separuh lagi untuk kesepian

(8)

Inilah suasana Mozart dilingkupi sepi
Menggiring penyair menulis takdir dan—tentu saja—mimpi
Tanpa aba-aba: mundur atau berhenti

Makassar, Agustus 2007