Senin, 14 Juli 2008

Paguyaman, kata Kakekku

Inilah paguyaman, kata kakekku
ibu bagi gunung-gunung
dan kebun jagung tak terhitung.

Sebentar hujan, sebentar reda
musim di sini seperti dia
di jaman perang dahulu
seorang perwira rendah
yang amat peragu.

Inilah paguyaman, kata kakekku
sepasang pulau memeluk teluk
jalanan memintas bukit dan ceruk.

Katanya, ceritakanlah rahasia
pada pohon kelapa
atau pokok ubi yang bisa dipercaya

menjauhlah dari antena parabola
yang sejak kecil sudah diajari
jadi mata-mata.

Inilah paguyaman, kata kakekku
ombak jauh lebih senyap
dari jari jemari pesulap

“aku ingin jadi pesulap,”
ujarnya tiba-tiba.

“aku benar-benar ingin jadi pesulap,”
ulangnya terbata-bata.

“Bukankah menakjubkan
bisa memotong peti jadi
kotak-kotak persegi
tanpa membunuh perempuan
cantik yang tengah berbaring
di dalamnya?”
Dia bergumam sambil menatap
sepetak kebun kelapa
di luar jendela.

Aku tahu, kakekku dulu
punya banyak kebun kelapa
kebun-kebun itu satu persatu
telah dijual untuk menutup
lubang yang ditinggalkan ayah
dan paman-pamanku di tubuhnya.

“Aku mengerti, kakek
aku mengerti,” kataku.

“Inilah paguyaman, inilah paguyaman.
Dapatkah kau bacakan puisi untukku, cu?”
pintanya kemudian.

Paguyaman, Juli 08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar