Senin, 14 Juli 2008

Di Tepi Kolam Kelam

/1/
Di tepi kolam kelam aku bercakap dengan diam
dengan apa pun yang bernama kesunyian
batu, rumput, lumut dan pancuran
benda-benda yang paham bahasa manusia
tapi lebih pilih menghargai kata-kata
daripada memamerkan kefasihan bicara.

Sebab tak pernah kutemukan
pendengar yang lebih sabar
yang bersedia jadi tua di tempat ini
demi mendengar kisah yang telah kuceritakan
hampir ribuan kali.

/2/
Pernah, entah sebab kejahatan apa,
seorang penyihir mengutukku jadi batu
tepat sesaat setelah aku jatuh cinta padamu
lantas dicampakkannya tubuhku ke tengah kolam
berisi dua ekor ikan merah jambu.

Barangkali dahulu mereka adalah sepasang pecinta
yang dikutuk penyihir karena terhasut rasa cemburu.

Entahlah, kekasihku. Entahlah
sejauh yang kuingat adalah
itu kali pertama aku belajar bicara
pada yang takkan membalas kata-kata.

/3/
Musim hujan membawa tetes-tetes air
mengurai memecah tubuhku jadi pasir,
serpihan kecil dan butir-butir kerikil
tapi bukan itu yang menyakitiku, sayang.

Benar tubuhku telah sekujurnya membatu
tapi jiwa dan pikiranku tetap menyala
seperti api pendiangan pondok musim salju
sebagai batu aku masih saja
merasakan sakit akibat merindu.

Adakalanya air kolam bertambah dalam
punggungku ditumbuhi ganggang
dan kepalaku perlahan tenggelam
tapi bukan itu yang merisaukanku, sayang.

Sebongkah batu tak takut tenggelam
juga tak mampu menyelam ke tepi kolam
jika suatu ketika kau lewat, aku khawatir
air mengeruhkan bayangmu sebagai
gelombang-gelombang kabur
dan nyanyianmu gema yang lamur.

Nyatanya, tak sekali pun kau lewat, kekasihku
aku tahu itu, sebab batu tak pernah tertidur.

/4/
Bertahun-tahun. Setelah jadi batu bertahun-tahun
suatu malam tubuhku kembali jadi manusia semula
bebas dari kutukan seperti serangga muda
menggeliat lepas dari kepompongnya.

Namun, sebab tak mampu menemukanmu,
aku merasa tak lebih beruntung dari sebongkah batu
dan kutukan itu lalu kekal dalam bentuk yang baru.

Maka di sinilah, aku bercakap dengan diam
di tepi kolam kelam mengenang saat-saat silam.

Gorontalo, Juli 08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar