Senin, 27 Oktober 2008

Kaleng

SETELAH secuil mentega penghabisan meninggalkannya,
kaleng itu kemudian menyepi dan menjadi pertapa.
"Kosong adalah isi, isi adalah tiada," ucapnya
dalam bahasa kaleng menirukan Budha.

"Kaleng mentega bukanlah mentega
kaleng bersayap bukanlah kecoa
dan kecoa yang terbuat dari logam
tak bisa menjadi genta di menara gereja."

Kaleng yang tak bergizi tapi saleh itu
telah menjadi lebih pertapa dan bijaksana.
Sementara, di salah satu sudut dinding,
seekor kecoa sedang mencibir si kaleng
sambil memamerkan sayapnya.

Makassar, Oktober 2008

Jumat, 24 Oktober 2008

Rambut

KOTA sedang terpanggang
saat aku berteduh di bawah matamu yang rindang
dan seluruh lekuk liku sungai-sungai
yang membelah rambutku memasrahkan diri
pada telapak tanganmu yang lapang.

“Rambut kakak keriting rupanya,”
ucapmu sambil mengusap ubun-ubunku.
“Persis semak-semak di halaman belakang rumah saya.
Persis jelatang berduri yang pernah melukai kaki saya
entah dari mana datangnya.
Seingat saya mereka mulai tumbuh selang sehari
setelah saya menguburkan bangkai si belang,
kucing kesayangan saya, tepat di tempat yang sama.
Setelah itu mereka menjadi raja-raja
yang berebut wilayah untuk dijajah.
Kakak, adakah seekor kucing belang sedang terkubur
di akar-akar rambut ini?”

Aku menarik nafas panjang
sementara di luar matahari semakin garang.
Sungai-sungai mengering dan kota ini perlahan mengerang.
Tapi tak lama, mendung pun menggantung.
Ah, tak ada yang lebih fana dari hidup dan cuaca yang tanggung

“Rambutmu juga adik,” jawabku “juga tak kalah keritingnya.
Seperti gelombang lingsir di landai pantai
yang kadang tenang kadang meradang.
Aku pernah menjumpai pantai semacam itu,
yang kata penduduk sekitar
dihuni dewi berambut ular
yang senang menghadang nelayan
lalu mengutuknya jadi karang.
Dan kata penduduk pula
dewi itu sedang menunggu kekasihnya
yang tak pernah pulang.
Katakan padaku adik, di pangkal helai-helai rambutmu,
adakah seorang dewi sedang menunggu?"

Senja pun mampir semakin hampir,
sebagian tubuhnya yang menolak pudar
menerobos ventilasi udara
lantas bermain-main di ujung rambut-rambut kita.
Ah, rasanya tak ada yang lebih kekanakkan ketimbang waktu
dan sepasang kekasih yang bermain rindu.

Matamu seperti jendela
tempat seorang dewi berambut ular
mengintip seekor kucing belang
yang sedang mencakar pohon besar di mataku
Dan kita terdiam lama sekali,
sebelum akhirnya kita saling menyeberangi
rambut satu sama lain.

Makassar, Oktober 2008

Jumat, 03 Oktober 2008

Kartupos dari Makassar

ALAMATKAN kartuposmu itu kepadaku saja
di sini, di Makassar.

kota ini perlahan tenggelam di bibir gadis-gadis
berwajah muram
sebentar nadinya berdegub, sebentar kemudian
lemah dan sayup
tak ubahnya kura-kura yang tertatih-tatih
memanggul beban bertumpuk-tumpuk.

Tuliskan namanya dengan jelas dan benar, Makassar
tembok-tembok tumbuh teramat rapat dan tiba-tiba
sementara luka perang saudara bertahun-tahun
masih lebar menganga.

Sungai Tello dapat kau pakai bercermin
Karebosi barangkali tak akan pernah mengering
jalanan dilebarkan, dibelah
dan disusun di puncak topang tinggi
tentu kau tahu di sudut mana aku kerap menulis puisi.

Di Makassar, kartuposmu tak akan tersasar, percayalah
sebab masih ada orang-orang berwajah ramah
harga senyum murah, walau harga sembako
mahal dan menggila seperti kuda terbakar buntutnya.

Benar di sini banyak pencopet, maling,
penodong, preman pasar dan mahasiswa
namun kabar gembiranya, di kota ini masih
ada penyair seperti aku
dan pengemis telah dilarang meminta-minta.

Kelak, setelah kartuposmu tiba
segera akan kukirim balasan
sehelai kartupos juga, bergambar
wajah makassar yang penuh liku garis usia.

Makassar, Oktober 08

Seseorang Mestinya Telah Tertidur

DALAM ketenteraman kata-kata
seseorang mestinya telah tertidur malam ini
tapi bukan aku, Gadis.

Kata-kata, sebaliknya,
menggambar wajahmu di langit-langit kamar
bulu-bulu matamu serupa berayun dan hidup
diterpa kipas angin listrik yang berputar.

Juga kata-kata, seolah membentur derik
jangkerik yang bersahut-sahut
dan itu mengundang cemas dan takut
aku cemas bila terlelap
dan takut tersasar di lambung mimpi yang berpusar.

Walau telah kulewati pertengahan malam ini, Gadis,
Segalanya ternyata baru saja dimulai
kereta terjungkir dari rel,
tiga sepeda motor remuk di jalur pantura
dan laba-laba yang menjalin sarang di pojok kamarku
terombang-ambing di laut wajahmu.

Setelah itu entah apa lagi,
entah apa lagi.

Makassar, Oktober 08

Kamis, 02 Oktober 2008

Ladang Tebu

KATAKAN padaku, Gadis,
gerangan apa yang tumbuh di keningmu itu?

Ladang tebu, jawabmu,
sehampar yang menyimpan getah gula
ribuan galon banyaknya.

Sayang, cintaku bukan traktor
bukan bilah-bilah tajam bergerigi
yang terpacak di moncong mesin pemanen otomatis.

Juga tak tega aku meninggalkan
ladangmu kerontang
meski ingin benar kureguk
tetes-tetes cintamu yang manis.

Izinkan aku, Gadis, mencintaimu seperti petani
yang menjaga tanah dengan darah
dan merawat tetumbuhan selayaknya
menekuni bayi sendiri.

Sebab aku bukan peluru
bukan sangkur yang kuasa
merampasmu paksa.

Makassar, Oktober 08

Gelap Sunyi

GELAP, sunyi, gelap, sunyi; sudah aku duga ada yang tak beres pada Oktober kali ini. Matahari bersinar jelas dan percakapan-percakapan jatuh di jalan-jalan seperti hujan, seperti simfoni, tapi yang mengepungku masih saja bernama gelap dan sunyi.

Barangkali, sebab jauh dari rumah, dari ibu dan kembang yang diukirnya di atas kue lebaran, jarak kemudian melamurkan pandangan demi memantik rindu yang berhulu dari kenangan. Oh, jarak, kepadanya pernah aku menitip harap teramat banyak, namun akhirnya hanya tersisa tak ada yang kita; hanya ada kau yang saja dan aku tak pernah ada.

Aku tahu, Oktober tak kunjung ramah pada kelopak bunga musim semi dan anak-anak yang tetap puasa seusai lebaran fitri. Tapi mengapa Oktober kali ini juga tak ramah padaku? Dalam gelap, dalam sunyi; tak kumiliki Oktober kali ini. Juga kau yang memanggilku dengan nama orang lain.

Gelap, sunyi, gelap, sunyi; untuk gelap aku nyalakan lampu, buat sunyi aku tulis puisi. Menulis puisi, sayangku, tak seperti membangun museum atau surga; penghuninya tak akan abadi begitu saja. Menulis puisi tak ubahnya seperti aku membakar jantung sendiri, namun tak kau lihat apa pun selain asap dan api.

Makassar, Oktober 08