Kamis, 02 Oktober 2008

Gelap Sunyi

GELAP, sunyi, gelap, sunyi; sudah aku duga ada yang tak beres pada Oktober kali ini. Matahari bersinar jelas dan percakapan-percakapan jatuh di jalan-jalan seperti hujan, seperti simfoni, tapi yang mengepungku masih saja bernama gelap dan sunyi.

Barangkali, sebab jauh dari rumah, dari ibu dan kembang yang diukirnya di atas kue lebaran, jarak kemudian melamurkan pandangan demi memantik rindu yang berhulu dari kenangan. Oh, jarak, kepadanya pernah aku menitip harap teramat banyak, namun akhirnya hanya tersisa tak ada yang kita; hanya ada kau yang saja dan aku tak pernah ada.

Aku tahu, Oktober tak kunjung ramah pada kelopak bunga musim semi dan anak-anak yang tetap puasa seusai lebaran fitri. Tapi mengapa Oktober kali ini juga tak ramah padaku? Dalam gelap, dalam sunyi; tak kumiliki Oktober kali ini. Juga kau yang memanggilku dengan nama orang lain.

Gelap, sunyi, gelap, sunyi; untuk gelap aku nyalakan lampu, buat sunyi aku tulis puisi. Menulis puisi, sayangku, tak seperti membangun museum atau surga; penghuninya tak akan abadi begitu saja. Menulis puisi tak ubahnya seperti aku membakar jantung sendiri, namun tak kau lihat apa pun selain asap dan api.

Makassar, Oktober 08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar