Jumat, 24 Oktober 2008

Rambut

KOTA sedang terpanggang
saat aku berteduh di bawah matamu yang rindang
dan seluruh lekuk liku sungai-sungai
yang membelah rambutku memasrahkan diri
pada telapak tanganmu yang lapang.

“Rambut kakak keriting rupanya,”
ucapmu sambil mengusap ubun-ubunku.
“Persis semak-semak di halaman belakang rumah saya.
Persis jelatang berduri yang pernah melukai kaki saya
entah dari mana datangnya.
Seingat saya mereka mulai tumbuh selang sehari
setelah saya menguburkan bangkai si belang,
kucing kesayangan saya, tepat di tempat yang sama.
Setelah itu mereka menjadi raja-raja
yang berebut wilayah untuk dijajah.
Kakak, adakah seekor kucing belang sedang terkubur
di akar-akar rambut ini?”

Aku menarik nafas panjang
sementara di luar matahari semakin garang.
Sungai-sungai mengering dan kota ini perlahan mengerang.
Tapi tak lama, mendung pun menggantung.
Ah, tak ada yang lebih fana dari hidup dan cuaca yang tanggung

“Rambutmu juga adik,” jawabku “juga tak kalah keritingnya.
Seperti gelombang lingsir di landai pantai
yang kadang tenang kadang meradang.
Aku pernah menjumpai pantai semacam itu,
yang kata penduduk sekitar
dihuni dewi berambut ular
yang senang menghadang nelayan
lalu mengutuknya jadi karang.
Dan kata penduduk pula
dewi itu sedang menunggu kekasihnya
yang tak pernah pulang.
Katakan padaku adik, di pangkal helai-helai rambutmu,
adakah seorang dewi sedang menunggu?"

Senja pun mampir semakin hampir,
sebagian tubuhnya yang menolak pudar
menerobos ventilasi udara
lantas bermain-main di ujung rambut-rambut kita.
Ah, rasanya tak ada yang lebih kekanakkan ketimbang waktu
dan sepasang kekasih yang bermain rindu.

Matamu seperti jendela
tempat seorang dewi berambut ular
mengintip seekor kucing belang
yang sedang mencakar pohon besar di mataku
Dan kita terdiam lama sekali,
sebelum akhirnya kita saling menyeberangi
rambut satu sama lain.

Makassar, Oktober 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar