Sabtu, 27 September 2008

Tentang Hujan dan Ulang Tahun ke-24 Seorang Perempuan

:Astri Yuningsih, selamat ulang tahun

BUKAN aku yang membawa hujan malam itu. Bukan pula hujan bermaksud menjadi kado ulang tahun untukmu. Bahkan aku lupa membawa kado dan mantel hujan untuk menepis gerimis dari wajahmu. Barangkali, hujan ingin menggantikan 24 batang lilin yang mestinya dinyalakan seseorang ketika itu. Ah, ketimbang meniup lilin, memang lebih pantas rasanya jika kau merayakan ulang tahun dengan meniup hujan saja.

Sungguh, bukan aku yang membawa hujan malam itu. Bahkan aku lupa membawa kado untukmu. Kita berteduh sejenak sembari saling bercerita tentang betapa menakutkannya pertambahan usia. Suatu saat kita akan tua, berbaring kesepian di atas balai-balai dan menatap ke luar jendela sambil menahan tulang-tulang yang merintih gemeretak tiap kali kita bergerak.

Aci, Aci, maafkan mulutku. Mestinya cerita macam itu tak patut kau dengar dari seseorang yang lupa membawakanmu sekotak kado ulang tahun. Sebentar kemudian hujan reda. Sebentar kemudian kau mengeluh soal panas yang mulai menjalari kepala. Rupanya hujan telah meninggalkan kado yang manis. Dan bunyi bersinmu persis seperti perempuan yang sedang meniup hujan.

Makassar, September 08

Risalah Halaman

Ayat 1 (Pagar)

Hujan tak pernah memilih-milah
apakah besi, apakah batu
Akan berkarat segala yang terluput
dari lumut

Ayat 2 (Sulur)

Sejauh apapun tak akan terjangkau matahari
Sejauh kau tak membujuk yang kau peluk
untuk tumbuh lebih tinggi

Ayat 3 (Rumput Teki)

Bagilah air dari sisa embun semalam
untuk menyembunyikan api
milik puntung rokok yang meloncat
dari jendela

Ayat 4 (Semak)

Dari tanah berbau dingin
satu saat kau terbang dikepit paruh burung
menuju sarang tempat mereka menghangatkan
telur-telurnya

Ayat 5 (Pohon Mangga)

Akan luruh berpuluh helai daun tua,
ranting-ranting goyah
sebelum tumbuh sebiji yang manis dan buah

Ayat 6 (Tempat Sampah)

Berkumpul segala yang tercampak,
merana dan dikhianati
Terbakar dalam api berwarna dendam

Ayat 7 (Saluran Air)

Siapa peduli pada yang tenggelam
Siapa peduli jika ada yang sampai di tujuan.

Makassar, September 08

Sabtu, 20 September 2008

Mencari Sisa-sisa Perjumpaan dalam Bangunan yang Hampir Diruntuhkan

Aku singgahi koridor bangunan ini, sehari sebelum diruntuhkan. Mencari apa pun yang layak; potongan pigura, pelat ornamen juga sisa-sisa perjumpaan pertama kita di anak tangga. Sayang, tak kutemukan kau. Tak kutemukan perjumpaan kedua, sehingga kolase yang kususun dari sisa-sisa perjumpaan pertama kita tak merekat tepat, lantas buyar belaka; tak menjadi wajahmu, tak menjadi wajah senja yang memakamkan diri di kedalaman matamu.

Sungguh, aku mencintaimu sungguh-sungguh. Hanya saja ingatanku teramat rapuh seperti sayap-sayap serangga setelah lelah mengembara ke jauh. Aku menyukai anakan rambut yang jatuh terjuntai di atas alismu, tapi tak sanggup aku mengingatnya persis seperti itu. Aku belum juga mati, tapi sekumpulan lebah mulai membangun sarang di jiwaku. Maka aku berkeras mencari sisa-sisa perjumpaan dan kau yang tak juga kutemukan.

Kira-kira esok pagi, bangunan ini tinggal reruntuhan. Barangkali tiada selain aku yang merasa kehilangan.

Makassar, September 08

Jumat, 12 September 2008

Di Hadapan Matamu

DI HADAPAN matamu, dapat kurasakan tubuhku tiba-tiba menipis seperti gerimis, seperti kabut atau daun-daun perdu yang menahan derai dingin dari nafasmu yang lembab. Siang itu, anak-anak tangga yang kita daki ikut bergerak searah kaki-kaki kita, membuatku tak pernah tiba di puncak tangga dan kau tak kunjung sampai di sisiku. Mungkin ini bukan perjumpaan kita yang pertama, sebab aku percaya jauh sebelumnya kita pernah bertemu dalam rahim ibuku. Kau adalah yang telah meletakkan benda itu di dadaku. Sesuatu yang kemudian berdetak sesaat setelah bibirmu meninggalkan lukisan yang bertahun-tahun tertidur di bibirku.

Tubuh Pohon

: merayakan setahun umur blog ini.

KAU menginginkan di tubuhmu ada bunga-bunga merekah, atau buah atau kehidupan yang berkecambah. Sayang sepanjang musim ini cuma daun-daun yang kau dapati tumbuh menggeliat di sekujur ranting dan tangan-tanganmu yang bercabang. Sesekali angin datang mengayun-ayunkan dahan. Daun-daun itu menjadi penari seolah tulang mereka lentur terbuat dari benang layang-layang.

Tapi itu tak menghiburmu. Setiap saat ada yang menguning teramat pucat, lantas mencokelat, jatuh, mati dan pada akhirnya menjadi tak berarti. Setiap helai yang lerai menyingkap jutaan rahasia di tubuhmu.

Baru kali ini, sejak bertahun-tahun lalu, kau menginginkan dirimu tak sekadar rimbun, tak sekadar teduh. Kau bermimpi menjadi anggun seperti peri dalam dongeng klenting kuning, atau pinokio atau puteri tidur dan tujuh kurcaci.

Tapi mereka hanyalah para peziarah yang singgah berteduh sejenak, tak pernah terpikir menitipkan sebaris pujian atau mengabadikan pucuk-pucukmu yang menggapai-gapai sebagai lukisan. Suatu saat, entah oleh petir, atau badai atau gergaji mesin, tubuhmu bakal tumbang, terbakar, mati dan pada akhirnya menjadi tak berarti.


Makassar, September 08