Senin, 07 Januari 2008

Aku; penghutang yang bangkrut

Aku berhutang pada baju kotor di sudut kamar
Separuh busuk, ditumbuhi buluk dan lumut
Andai punya mulut, mereka tentu bikin ribut
Mengeluh dengan aduh paling gaduh
Tuan, baju kotor itu ibarat lelaki patah hati
Cinta pergi sebagai keringat menguap
Meninggalkan sedikit daki
Tuan, kenangan itu seperti noda bekas kopi
Sukar hilang jika tak dicuci berulang kali.

Aku berhutang pada lembar-lembar buku harian
Yang kosong tanpa puisi atau satupun catatan ingatan
Seseorang meninggalkan untukku secarik kartu pos
Bergambar pantai sebuah negeri yang belum pernah aku kunjungi:
Kepada seorang pelupa, tulisnya,
kukirimkan sebuah hari tanpa peristiwa istimewa
Beserta mimpi yang seketika lindap saat membuka mata
Tuan, hidup tanpa ingatan barangkali adalah semacam kutukan
Tapi lupa dengan mudah sungguh sebuah keberuntungan
Maafkan aku jika tak sempat menyapamu di suatu siang

Aku berhutang pada kulit kepala yang lama tak dibasuh
Ketombe tumbuh, seperti anak-anak lokan di rambut lusuh
Bergulir seumpama salju pertama malam natal kesekian
Memucatkan bahu sampai lengan, sebentuk landai bebukitan
Tuan, hidup itu seperti hadiah natal
Bungkus kado boleh merah, biru, ungu atau merah jambu
Kertas warna apa pun kau suka, tapi isinya tetap saja rahasia
Dan bila ingin menyingkapnya
Mesti kau sobek dulu itu kertas warni-warna

Aku berhutang pada sepasang sandal yang setia di teras depan
Mereka memanggil-manggil namaku sejenak selepas hujan
Merengek minta diajak jalan-jalan dan mandi kubangan di cerukan
Sandalku malang tak tahu, saat-saat seperti ini tanah menjadi penipu
Senang memerosokkan tungkai-tungkai yang lengah dan lugu
Tuan, pada sepasang sandal ada kesetiaan
Kecuali untuk melempar kucing, sebelah sandal bakal dilupakan
Tuan, pada sepasang sandal ada pengabdian
Tak pernah menolak kaki, walau berkutu dan panuan
Seperti budak, teman sandal cuma kotoran

Aku berhutang. Penghutang paling bangkrut
Pada genteng yang retak dan rumpang berlubang
Setiap lewat angin kencang terdengar siulan panjang
Suara malaikat sedang tegang, terbang tak tenang
Menunggu saat tepat menjemput nyawaku pulang
Air hujan merembes dan jatuh di loyang kuningan
Seperti detak jantung terhukum menuju tiang gantungan
Tuan, tahukah mengapa orang-orang gemar menabur bunga,
Menyalakan dupa dan membakar banyak kemenyan di makam
Sebab seperti hujan hari pertama, kematian berbau teramat tajam
Perlu menyamarkan bau itu agar tak jadi hantu menjelang malam

Makassar, Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar