Kamis, 17 September 2009

Wajah Pinrang

bahkan aku belum sampai di perbatasan
saat kau kirimkan sekumpulan mendung berbuah hujan
inikah cara kau menyambut kedatangan seorang kawan?

wajahmu, Pinrang, adalah wajah raja yang pulang dari tanah pengasingan
truk-truk pasir, pick-up pengangkut itik, salak, dan udang
juga orang sekarat dalam angkutan kota
apa lagi yang akan aku temukan?

aku sendirian di lapangan kota
lelaki-lelaki bersepak takraw di dekat ayunan dan perosotan
tubuh mereka yang kekar berubah lentur saat bersalto
dan nenek itu
kesulitan memahami kata-kata cucunya yang terlalu Jakarta

aku sendirian di lapangan kota,
bersama sedikit uang dan selembar foto kekasihku di saku
bekal itu sudah cukup
untuk menyesap segelas es teler yang tak terlalu istimewa
dan menolak godaan gadis-gadis yang pintar berdandan
mirip penghuni papan iklan

di wajahmu, Pinrang, apakah yang akan berubah ketika aku kembali nanti?

Pinrang, Juli 09

--sajak ini sepaket dengan sajak-sajak yang saya tulis selama melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di Kabupaten Pinrang. terselip di catatan facebook dan baru sekarang saya ingat untuk mempostingnya di blog ini.

Minggu, 05 Juli 2009

Basket

hanya ada sebuah bola
itu pun merah pudar warnanya
dan lapangan basket kecil di halaman smp kecamatan
kau kejar bola itu
aku kejar bola yang sama
kita saling kejar, saling buru
beradu siapa yang mampu melompat paling tinggi
dan mencetak angka lebih dulu

hanya ada sebuah bola
itu pun merah pudar warnanya
menggelinding dan melenting di antara keringat
dan nafas kita yang membakar
kita berkerumun pada satu tiang ring
berebut menggapai lingkaran besinya yang tak lagi berjaring
di ujung lain, ada tiang ring yang lain
sepasang tiang ring itu berdiri sejarak garis lapangan
saling hadap dan menatap lama sejak smp ini didirikan
aku membayangkan, saat tak ada satu manusia pun,
kedua tiang ring itu bertemu
dan berpelukan tepat di tengah lapangan

hanya ada sebuah bola
itu pun merah pudar warnanya
matahari bersembunyi di balik papan ring
sebelum mekar dan kemudian hilang
ditelan atap sekolah
dan setelah puluhan lompatan,
belasan pantulan, serta satu dua liukan,
akhirnya aku kau kalahkan

ah, bola itu bundar, kawan
bola itu bundar

Pinrang, Juli 09

Di Pantai Kappe

:Fajriah

seekor anjing kerdil mengguguk kepadaku di bibir pantai pasir yang hitam
sebentar kemudian anjing itu berlari-lari memamerkan punggungnya yang berwarna matahari kesore-sorean.

seorang lelaki menyeret jala sampai ke ujung dermaga
pinggulnya hilang ditelan ombak rumput laut perlahan-lahan
punggungnya ditimbuni cahaya yang muncrat dari sekumpulan awan.

langit sedang retak, sayang
tepat sebelum malam, jiwaku lamur bersama kangen dan separuh teluk yang terpotong kabut.

Pinrang, Juni 09

Di Muara Sungai Saddang

Perahu penyeberangan ini kadang oleng dan berguncang
Tidak hanya sekali atau dua, baling-baling mesinnya menggunting dasar sungai berpasir terang

"Tidak akan ada yang tercebur sebelum perahu sampai ke seberang," berkata juru mudi
suaranya dalam dan tenang
Sementara muara sungai Saddang sedang surut di wajah para penumpang


Mungkin dia tahu hanya aku yang sendiri
Mungkin dia tahu hanya aku yang ketakutan.

Pinrang, Juni 09

Minggu, 07 Juni 2009

Alasan Mengapa Aku Datang Terlambat ke Rumahmu Malam Itu

Sebab langit belum berhenti menelurkan hujan
lalu menularkannya ke halaman.
Halaman hanya punya satu selokan.
Selokan tersumbat, halaman berubah jadi danau genangan hujan

Di teras rumah berlantai dua itu, aku duduk di anak tangga kedua dari bawah,
sebab anak tangga pertama telah dihilang-keruhkan danau genangan hujan.
Satu per satu sisa hujan menetes-netes dari kanopi,
mengangkat permukaan genangan yang bergerak menggapai-gapai jempol kakiku.

Aku meraba sisa-sisa hujan itu dengan tangan terkepal,
bukan terbuka seperti orang berdoa,
sebab aku khawatir selaput tipis perlahan akan tumbuh di sela-sela jari-jariku.

Aku tak bisa berenang.
Aku tak akan sampai ke seberang.
Aku hanya menatap langit yang masih saja mengenang hujan.

Masih di anak tangga kedua teras rumah itu,
sambil menunggu danau yang belum juga surut,
aku berusaha menebak-nebak jawaban atas
pertanyaan seseorang dalam adegan sebuah film
: Menurutmu, apakah hujan jatuh berbutir-butir seperti pasir,
Atau terulur seperti jalur-jalur benang?


Makassar, Juni 09

Kamis, 04 Juni 2009

Misteri Kota Hilang di Dasar Laut

Mungkin dia terlalu rindu kamu sampai-sampai dia membangun sebuah kota lalu menguburnya di dasar laut. Orang-orang menyebutnya kota misteri. Kota hilang. Kendati setahu dia tak ada yang lebih teka-teki daripada kamu yang lama tak pulang. Hanya sunyi, senyap dan gelap. Rindu perlu berbahan tahun untuk tenggelam dalam lelap.

Maka beginilah dia: membangun kota untuk kamu cari untuk kemudian menemukannya yang telah kehabisan cara memberitahu kamu di mana tempat pulangmu berada. Ke sinilah kamu dengan robot-robot kapal selam, alat sonar dan radar yang bisa menyelam sampai ke dasar.

Temukanlah dia yang sudah separuh buta menyusun bebatu bata. Memahat dan memasak dinding-dinding kota di setiap ketika yang dia punya. Datanglah kamu sebelum orang lain datang menguras dan mengurung harta karun kota itu di koran-koran, museum dan rumah lelang.

Dia terlalu rindu kamu, sungguh, dia terlalu rindu kamu.

Makassar, Juni 09

Minggu, 10 Mei 2009

Mabuk Bersama LI Bai



Saya bukan bulan
Bukan bunga pun
Tak pernah kau undang saya ke bilikmu
Tapi saya ingin berjalan bersamamu
Mabuk bersamamu
Kita jatuh ke selokan saling menimpa
Lalu menertawakan jubah kita yang basah sampai ke dada
Tambah terus araknya, Tuan
Arak murahan tapi lumayan
Seguci lagi buat menyucikan jiwa dari kemuraman

Saya bukan bulan
Bukan bunga pun
Tapi biarkan saya berjalan bersamamu
Agar kau tidak sendirian menatap burung-burung,
Gunung,
Dan awan yang sendirian itu
“Ah, siapa yang sendirian?” sergahmu
“Saya punya bayang-bayang.”

Makassar, Mei 09