Selasa, 22 April 2008

Ajaran Ayah

Ayah mengajarkanku untuk tak gampang percaya
Sebaliknya ibu selalu percaya bahkan pada siapa
saja yang baru ditemuinya.

Pernah ibu percaya pada seorang karyawan
Perusahaan Listrik Negara. kepadanya ibu
menitipkan uang pembayaran tagihan.
Sekali sebulan.

Sampai suatu hari datang pemberitahuan
lewat secarik kertas berisi angka-angka
diantarkan seorang lelaki yang kujuluki
malaikat pencabut cahaya.

Malaikat, sebab pakaiannya putih dan
aksennya lembut seperti orang sunda.

Pencabut cahaya, sebab sepeninggalnya
rumah kami dingin dan gelap tak ubahnya
sel penjara.

Ya, lelaki itu adalah petugas
penyegelan yang dikirim ke rumah kami
yang telah menunggak pembayaran dua bulan.

Ayah juga mengajariku untuk tak banyak bicara
sebaliknya ibu selalu bicara pada siapa pun
yang ditemuinya. Sekurang-kurangnya ibu akan
bertanya kabar atau melempar sepotong kelakar.

Setiap malam ibu dan aku saling bertukar cerita.
Bertukar kata-kata. Sedang ayah akan berdiam
di kamarnya sendiri entah melakukan apa.

Aku pernah berpikir, barangkali ayah adalah
pembenci kata-kata seperti antagonis tua
dalam film-film mafia.

Tapi tidak, ayah tak membenci semua kata.
Dia hanya membenci kata-kata orang lain
dan menganggap kata-katanya sendiri seolah
koleksi kupu-kupu langka.

Itulah sebabnya ayah tak mau berbagi dan kata-katanya
kerap dinikmatinya sendiri.

Saat aku kecil dia jarang mendongeng atau menyanyikan
ninabobo untukku. Saat remaja pun dia tetap saja jarang bicara,
atau melarangku untuk tak merokok atau keluyuran larut malam.

Tak aneh bila aku sama sekali tak merindukan kata-katanya.
Mengingat betapa sedikit kata-kata yang diwariskannya buatku.

Dari yang sedikit itu tinggal enam kata yang masih
terpahat lekat-lekat dalam ingatan :
Jangan gampang percaya, jangan banyak bicara.

Tentu saja, aku menjadi seseorang yang tak gampang percaya,
tapi aku tetap tak dapat menyembunyikan kata-kata

Kecuali satu kali, saat aku mendapati ayah sedang bergandeng intim
dengan seorang perempuan yang bukan ibuku.

Sekali itu aku percaya dan sekali itu aku berusaha
menyembunyikan kata-kata.

Makassar, April 2008

Senin, 21 April 2008

Nina

Adalah aneh melihatmu

Masih terjaga saat kemarau begini

Tidurlah!

Makassar, Agustus 07

Nina (2)

Kau masih belum tertidur juga rupanya

Terjagalah!

Makassar, April 2008

Seperti Kecap

Aku seolah pernah melihat warna hitam yang sama

Di satu tempat pada suatu waktu

Pada antrian panjang dekat etalase sebuah toko buku

Tapi sesungguhnya, aku ingin mencari warna hitam itu

pada matamu

Sebab aku seakan pernah mengecap rasa manis seperti ini

Di suatu waktu di suatu masa lalu

Mungkin di laci meja belajarku

Atau pada sekeping bibir yang beku

Ya. Pada sekeping bibir yang beku


Makassar, April 2008

Minggu, 20 April 2008

Memanjangkan Rambut

Aku ingin memanjangkan rambut. Lebih panjang daripada
sungai dalam sebuah buku tentang seorang pecinta anggrek
hantu Tapi sungai di buku itu bertubuh tegas dan lurus.
Berkelok hanya sesekali tak terus menerus. Sedang rambutku
kering kusut tak ubahnya serabut. Mengingatkan pada kertas
yang terbakar pelan-pelan. Lalu berkerut. Lalu menyusut.

Aku ingin memanjangkan rambut. Lebih panjang dari benang
laba-laba yang dijatuhkan Buddha untuk para narapidana
neraka. Yang diberi kesempatan sekali lagi buat bertobat
sambil memanjat sampai ke nirwana. Tapi rambutku malah
tumbuh ke atas seperti ribuan sungut. Barangkali sebab
jarang diusap jari jemari lembut. Jari jemari milik ibu.
Juga jari jemari milikmu.

Rambut sepanjang ini membuatku teringat ayah.
Sejak kecil ia memperlakukan aku layaknya budak
tuan tanah. Rambutku tak pernah dibiarkannya
rimbun lebat. Selang sebulan aku dibawanya
ke tukang cukur yang membabat habis kepalaku
sampai polos dan kesat. Dengan kepala tanpa rambut
aku tampak seolah anak yang patuh dan penurut.

Kali ini biarkan rambutku melakukan apa pun semaunya.
Tak ada sisir, gunting, cermin atau ahli mode dan gaya.
Hanya saja rambutku mesti keramas. Rutin sehari sekali.
Untuk tak menyiksa si kulit kepala tak berdosa. Pula aku
memanjangkan janggut, kumis, cambang dan segala macam
rambut yang dapat tumbuh di tubuhku. Membiarkan mereka
hidup sedikit lebih lama agar satu sama lain dapat saling
menyapa, saling percaya, dan tahu masing-masing memiliki
fungsi tak jauh beda.

Di kehidupan lampau barangkali aku adalah seorang
pembunuh singa. Lelaki perkasa yang menitipkan
segala rahasia tentang rambutnya kepada seorang
perempuan penjual rahasia. Kemudian perempuan itu
memotong pendek rambutnya sehingga mendadak ia
kehilangan kekuatan, lalu penglihatan, lalu kepercayaan,
dan akhirnya nyaris segalanya. Andai perempuan itu tak
menyisakan sedikit rambut tumbuh di kepalanya.
Sedikit saja. Barangkali ia pun akan kehilangan perempuan
itu. Perempuan yang di hatinya perlahan-lahan tumbuh
cahaya. Seiring tumbuh rambut baru di kepalanya.

Aku ingin memanjangkan rambut. Mungkin tak akan
sampai sepanjang sungai. Atau selampai benang laba-laba
yang jatuh menjuntai. Rambutku tumbuh seperti jejaring
di dahan-dahan beringin. Megar, menyemak, kaku dan tak
peduli pada angin. Barangkali kau dapat menumpuk
potong-potongan mimpi buruk yang bakal tersesat di antara
lubang-lubang akarnya yang rapat. Atau kau dapat
menyisipkan rahasia yang baru bisa terbuka saat rambut ini
memutih, rontok, lalu lelah dan menyerah pada usia.

Makassar, April 2008

Selasa, 15 April 2008

ukh....

Mohon maaf, pengelola blog ini sedang menderita penyakit writer's block.
doakan semoga cepat sembuh ya...