Selasa, 24 Maret 2009

Pintu dan Tali Sepatu

--Pintu--

PINTU itu hanya sebuah pintu biasa.
Dibuat dari kayu yang kekurangan ukiran
dan kualitasnya barangkali tak begitu istimewa.

Pintu itu milik sebuah kamar rumah sakit yang memisahkan antara
ruangan pasien miskin dan ruangan pasien berada.

Dingin, keras, putih sedikit kusam,
pintu itu kadang memandangiku penuh selidik dan curiga.
“Pulanglah!” hardiknya suatu ketika, “jangan berani sakit kalau kau tak kaya.”

*
Mengapa kita hanya diajarkan mengetuk pintu saat masuk saja, dan tidak saat keluar?
Mungkin karena memasuki sesuatu itu lebih mudah
--seperti kau memasuki pintu pikiranku
dan keluar dari sesuatu itu lebih sulit
--sama sulitnya bagiku mengeluarkanmu lewat pintu yang sama

Kau keluar lewat pintu yang putih dan angkuh itu tanpa mengetuknya lebih dulu. Muncul bak peri, kau mendapatiku sedang berlutut mengikat tali sepatu.


--Tali sepatu--

Sederhana sekali sebenarnya;
1) samakan kedua ujung tali sepatu itu,
2) buatlah sejalin ikatan longgar, dan
3) kuatkan dengan sebuah simpul kupu-kupu.

Tiga tahap sederhana yang tak pernah becus kukerjakan
Bahkan sampai saat ini; saat ukuran kakiku telah mencapai 9 inci.
Tali sepatuku selalu saja terurai walau aku yakin
telah mengikatnya dengan kencang dan benar.

Dahulu, ketika kali pertama aku menyelesaikan ikatan tali sepatuku sendiri, ibuku tersenyum dan berkata sudah saatnya aku pergi sekolah tanpa ditemani. Mungkin tali sepatu adalah pertanda kedewasaan.

Ah, tahukah kau? aku senantiasa memimpikan
kelak dirimu yang akan melepaskan tali sepatuku
kalau-kalau aku merasa terlalu lelah melakukannya sendiri.

*
Aku tengah berlutut mengikat tali sepatu saat kau keluar
dari pintu yang dingin dan sinis itu.
Dari bawah terlihat dagumu yang merah dan bulat purnama.
Tali sepatuku, ajaibnya, telah terikat dengan sempurna.

Tahukah kau? Ada 34 cara mengikat tali sepatu.
Tapi aku hanya tahu satu cara jatuh cinta kepadamu.

Makassar, Maret 09