Selasa, 02 Desember 2008

Gadis Flu

Dia berkata, "Lurus saja

Terus di bagian utara gedung itu. Seorang gadis termangu, susah payah menghela nafasnya yang dibebani flu. Geliginya berwarna gading, matanya abu-abu, sesekali menatap ujung jalan seolah menunggu sesuatu."

Jawabku, "Ah, tiada siapa pun

Kecuali pohon-pohon yang menjaga jarak, tumbuh satu-satu, sementara dedaunan bundar kecilnya menghambur serupa serpih konfeti tahun baru. Mungkin bulan telah mengaburkan matamu. Di musim hujan seperti ini, bayangan bulan kadang serupa benar dengan bidadari yang menyepi dan menunggu."

Lalu dia menyanggah, "Tidak, lihatlah secermatnya

"Gadis itu membaca sebuah buku. Paling banyak dua halaman saja, sebab tak pernah aku melihatnya membuka halaman baru. Setiap kata seolah butuh dicernanya berjam-jam. Halaman buku, ujung jalan itu, halaman buku, ujung jalan itu, ujung jalan yang lain, lalu kembali ke halaman buku itu. Seolah-olah dia sedang menunggu sesuatu."

"Tak ada siapa-siapa," Tukasku,

"Kecuali bebangku pejal berjejal kesepian, semak dan ranting-ranting berjatuhan..."

"Sekarang lihatlah," sergahnya,

"Gadis itu menutup buku. Telunjuk tangan kanannya menyentuh kancing baju. Datang. Lalu meloncat ke kancing bajunya yang lain. Tak datang. Datang, tak datang, datang, tak datang. apakah kau yakin akan membiarkannya terus menunggu?"

Makassar, Desember 2008