ALAMATKAN kartuposmu itu kepadaku saja
di sini, di Makassar.
kota ini perlahan tenggelam di bibir gadis-gadis
berwajah muram
sebentar nadinya berdegub, sebentar kemudian
lemah dan sayup
tak ubahnya kura-kura yang tertatih-tatih
memanggul beban bertumpuk-tumpuk.
Tuliskan namanya dengan jelas dan benar, Makassar
tembok-tembok tumbuh teramat rapat dan tiba-tiba
sementara luka perang saudara bertahun-tahun
masih lebar menganga.
Sungai Tello dapat kau pakai bercermin
Karebosi barangkali tak akan pernah mengering
jalanan dilebarkan, dibelah
dan disusun di puncak topang tinggi
tentu kau tahu di sudut mana aku kerap menulis puisi.
Di Makassar, kartuposmu tak akan tersasar, percayalah
sebab masih ada orang-orang berwajah ramah
harga senyum murah, walau harga sembako
mahal dan menggila seperti kuda terbakar buntutnya.
Benar di sini banyak pencopet, maling,
penodong, preman pasar dan mahasiswa
namun kabar gembiranya, di kota ini masih
ada penyair seperti aku
dan pengemis telah dilarang meminta-minta.
Kelak, setelah kartuposmu tiba
segera akan kukirim balasan
sehelai kartupos juga, bergambar
wajah makassar yang penuh liku garis usia.
Makassar, Oktober 08
Jumat, 03 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar